part 4

490 71 3
                                    

Seharian Ibam tidak mau berbicara kecuali ditanya. Tidak mau membereskan barang ke koper, atau membawanya masuk mobil. Sepanjang perjalanan Ibam sibuk bermain gawai, mendengarkan musik di headphone, melihat keluar jendela lalu tiduran karena bosan. Mama-papa duduk di depan, sama-sama tak membuka obrolan. Fokus melihat keadaan, sesekali mengecek maps untuk mencari jalan. Dan Ibam tak peduli jika mungkin dia dan orangtuanya tersesat saat melewati persimpangan Padalarang. Memikirkan peraturan ketat dan segala larangan di pesantren membuat Ibam berharap jarak tempuh memakan waktu seharian. Lagipula, apa yang mama-papa harapkan dengan memasukan dirinya ke pondok? Menjadi ustaz? Pendakwah? Atau ulama besar? Ibam mendengkus kesal, bergerak lasak di jok belakang.

Mama lantas menyerongkan badan. "Bam," tegurnya pelan. "Duduk yang anteng, ah."

Ibam melengos. Mama menghela napas. Bayi besarnya sedang memasang mode ngambek. Beliau pun kembali menghadap depan.

Tak lama setelah itu mobil mereka benar-benar masuk ke kawasan asri di mana kiai Usman tinggal. Rumah hunian beliau masih mengguna kayu jati, bercat coklat tua dengan pagar bambu putih yang mengelilingi teras. Ibam ingat, dulu sering berlarian di halaman hingga mama mengomel panjang lebar. Tak disangka dia malah menginjakkan kaki lagi di sini untuk menjadi santri.

Kedatangan Ibam sekeluarga disambut hangat oleh kiai Usman dan istri. Pasangan pasutri itu tak tanggung-tanggung dalam menyuguhi makanan. Memenuhi satu meja persegi panjang dengan buah-buahan, minuman sirup, toples khas lebaran juga jajanan pasar.

"MasyaAllah, Ibam sudah sebesar ini." Bu nyai berkomentar takjub, menatap mama, papa dan Ibam bergantian seolah sedang mencocokkan. "Pipinya udah nggak gembil lagi. Tambah ganteng, mirip kayak papanya."

Mama tersenyum bangga, menyentuh tangan Ibam di sampingnya. "Udah 17 tahun, Bu. Udah remaja."

"Iya, ih, pangling. Dulu liat pas masih delapan atau sembilan tahunan ya, lupa. Udah lama, lah, pokoknya."

Lalu obrolan berlanjut membahas kejadian dulu yang sama sekali tak Ibam dengarkan. Dia kembali bermain ponsel. Sesekali berhenti karena papa menyikutnya. Lima belas menit terlewat, tibalah saat mama-papa pamit pulang setelah menyampaikan tujuan dan menitipkan Ibam. Pak kiai beserta istri nampak sangat takzim menerima amanah untuk "menjinakkan" Ibam.

Ibam menyalimi kedua orangtuanya sebelum mereka pergi. Matanya mengikuti mobil putih papa sampai hilang tertelan jarak. Kemudian kedua tangan di samping badan terkepal rapat. Ada rasa tak rela yang semakin mendesak dada. Ada kata yang menyumbat tenggorokan hingga terasa menyakitkan. Ibam tak pernah menyadari jika dirinya secengeng ini. Meski bukan tangis meraung seperti bayi, tetapi cairan di pojok matanya cukup sebagai bukti. Belum lagi orangtuanya yang enggan memberi pelukan sebagai ucapan perpisahan. Mau tak mau Ibam pun berpikir jika dirinya sengaja dibuang. Untung saja pikiran buruk itu lekas terdistraksi oleh kedatangan seorang santri. Dia mencium punggung tangan pak Kiai yang masih berdiri di teras bersama Ibam.

"Barang yang mau diantar ke asrama putra di mana, Bah?" tanya dia.

"Ada di dalam, Ris. Abah minta tolong sekalian ajakin A' Ibrahim keliling, ya?"

"Baik, Bah. Permisi, mau masuk dulu. Umi di dalam?"

"Umi di dapur. Nanti kamu makan di sini saja. Ajak A' Hasan sama Teh Anisa."

"Iya, Bah." Setelahnya santri itu masuk ke dalam. Cukup lama, cukup untuk kiai Usman menceritakan siapa dia. Bernama Muhammad Aris Al-fatih, putra bungsu kiai Usaman sekaligus teman masa kecil Ibam saat berkunjung ke Bandung. Ibam tak mengenali wajahnya, tetapi ingat pernah bermain bersama anak kecil yang suka menirukan ucapannya.

"Aris kelas 10 sekarang. Kalau Ibrahim?"

"11, Kiai."

Kiai Usman tertawa. Usianya yang menginjak kepala lima menambah aura bersahaja di wajah ramahnya. "Panggil Abah saja, Ibrahim."

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang