Setelah semalaman berpikir, Ibam sadar jika harus ada yang dikorbankan. Pilihan sepenuhnya ada di tangannya, hanya perlu dorongan untuk merealisasikan. Dan ucapan tajam Bayu berhasil membuatnya nekad berangkat tepat setelah subuh usai. Tak menunggu ceramah kiai Usman, apalagi Aris yang pagi ini mengambil saf salat paling depan hingga sulit untuk keluar. Jadi, ditemani Hasan yang membantunya meminjam motor, Ibam bersiap dengan tas rasel hitam berisi baju ganti di gendongan. Jaket hitam tebal yang dulu dia gunakan saat pertama kali datang kini dipilihnya untuk melindungi badan dari dinginnya udara Bandung.
Ibam melepas topi sebelum memakai helm. Memasang sarung tangan kulit. Hasan maju tepat di samping Ibam, memindai sebentar kondisi motor yang bahkan belum dibersihkan.
"Kamu beneran mau berangkat sekarang?" tanya Hasan, beralih memperhatikan jalanan tanah di depan. Lampu teras rumah warga yang saling berhadap-hadapan sudah dimatikan, menjadikan keadaan diselimuti remang. Belum lagi bunyi jangkrik yang menandakan jika hari masih terlalu pagi untuk seseorang pergi.
"Iya. Semakin lama diulur semakin bahaya. Lo tau kan, lingkungan pertemanan gue keras."
Dalam, Hasan mengembuskan napas. Mengangguk samar. Menepuk pundak Ibam. "Hati-hati. Meski sendiri, jangan ugal-ugalan."
Ibam menutup kaca helm, menyalakan mesin motor. Berpamitan lalu melesat keluar. Lampu sorot bagian depan menyapu jalan, sesekali menangkap kodok-kodok kecil menyebrang dari pesawahan.
Sepanjang lintasan, selama waktu yang dimakan jarak Bandung-Jakarta, pikiran Ibam berkelana. Sampai tak sadar, motor bergerak memasuki kawasan perumahan elit di mana markas, atau rumah Doni berada. Ibam menghentikan motor tepat di depan gerbang hitam, melepas helm dan mengganti dengan topi guna menutup kepala plontosnya. Perlahan Ibam mendorong besi ringan itu, suara tersendat akibat karat di roda kecilnya mengisi senyap suasana. Berbanding terbalik dari lampu yang masih menyala di setiap inci bangunan berlantai dua di hadapan.
Ibam mengambil jalan memutar, menuju pavilliun yang nampak ramai oleh sepatu dan suara tawa. Ragu, Ibam meraih gagang pintu. Membukanya tanpa salam sambil menunjukan rupa secara perlahan. Nandan yang menyadarinya lebih dulu langsung bangkit, kaget. Mengintrupsi teman-teman lain agar mengalihkan mata ke arah Ibam. Ibam tersenyum tipis, mengangkat tangan. Menyapa meski tak bersuara.
"Wow wow! Siapa ini?" Doni bangkit berdiri, menggeleng tak percaya. Dia mendekat, menelisik Ibam. "Asli. Lo kenapa nggak ngasih kabar mau datang?"
"Nggak sempet. Buru-buru."
"Lo kabur dari pesantren?" Alis Doni bertaut. Bibirnya berkedut menahan tawa.
Ibam menggeleng. "Nggak. Gue emang sengaja ke sini. Ada yang mau gue bicarain."
Doni menoleh ke arah teman-temannya yang sedang memerhatikan. Lalu kembali ke Ibam. "Oke."
Setelahnya Ibam berjalan mengikuti Doni ke ruangan bagian dalam. Disusul ke sepuluh orang yang sebagiannya harus berdiri sebab sofa putih itu tak cukup untuk mereka duduki. Ibam berdeham, mengawali. Menegakan punggung, menatap satu persatu anggota gengnya.
"Kemarin Rio dan antek-anteknya datang nemuin gue di pesantren." Mendengar itu, semuanya saling melempar pandang. Ibam paham lalu melanjutkan, "dia ngajakin kita fight, dan gue mau kalian ..."
"Terima!" Potong Doni, menjentikkan jari. "Tenang aja, Bam. Kita tahu, kok. Malahan kita udah nentuin harinya. Iya, kan?"
Nanda yang dipandang Doni lantas mengiyakan dengan anggukan. Membuat Doni tersenyum bangga, bersandar punggung sambil bersedekap tangan. Ibam berdecak kasar, berdiri dan menghampiri Doni di seberang.
"Kenapa lo seenaknya buat keputusan tanpa ngasih tau gue?"
"Lho?" Doni ikut bangkit, berdiri tepat di depan Ibam. "Emang kenapa? Bukanya lo juga setuju, kan, buat nerima tantangan Rio? Lagian ya, Bam, nggak gampang ngehubungin lo di pondok pesantren. Dan jangan bilang kita harus ke sana dulu buat ngomongin ini sama lo. Susah, men, naik motor pakai sarung. Takut ada yang terbang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...