Ibam masih ingat dengan jelas awal pertemuannya bersama Bayu dua bulan lalu. Saat itu dirinya yang sedang tak enak badan bergelung di balik selimut sambil bermain gawai. Mengabaikan suara-suara di luar, dan fokus menjelajah media sosial. Lalu tiba-tiba pintu dibuka seseorang. Lumayan keras sampai menimbulkan dentuman. Ibam menyingkap kain yang membebat sampai kepala, menoleh sebentar ke arah Bayu dan kembali menenggelamkan diri pada kegiatan semula.
"Sarapannya saya taruh di nakas," kata Bayu, memerhatikan punggung Ibam. Beberapa saat berselang sahutan tak juga terlontar. "Hei, saya lagi bicara sama kamu."
"Emh." Ibam merespon berupa gumaman. Enggan membalik badan. Tak terduga, Bayu menarik selimutnya paksa. Membuat Ibam memekik seketika. Dia duduk, menatap Bayu tak suka. "Apaan, si?"
"Apaan-apaan. Kamu diajarin sopan santun enggak, sih? Tau caranya mengormati orang yang lebih tua?"
Sejenak Ibam memicingkan mata. Heran. Menggelengkan kepala setelahnya. Lantas, dia membenarkan bantal, berniat merobohkan badan sebelum pundaknya ditahan.
"Ikut saya keluar sekarang."
"Nggak." Ibam menyentak tangan Bayu. Kemudian mendesis sebab gerakannya justru membuat kepalanya semakin berputar. Dia lekas bersandar pada kepala ranjang, memejam sambil memijit pangkal hidung yang berdenyut.
"Enggak usah pura-pura begitu. Saya enggak akan tertipu."
"Gue nggak pura-pura, anjir!" Ibam melempar tatapan tajam. "Gue beneran sakit."
"Sakit tapi mainan HP."
"Ya, terus gue harus apa? Kayang?! Lari?! Nangis?! Lagian yang sakit itu kepala gue, bukan jari. Sinting!"
"Kamu ngatain saya sinting?" Bayu maju sampai dengkulnya menyentuh pinggiran ranjang. Kemudian merebut gawai di pangkuan Ibam.
"Woy!" teriak Ibam, segera mengayunkan tangan yang langsung Bayu tepis kasar.
"HP kamu saya sita. Akan saya kasih seminggu sekali di hari jum'at sehabis asar. Paham?"
"Balikin!"
"Enggak bisa."
"Lo ngajak ribut, ya, hah?!"
Bayu tersenyum, memutar-mutar HP tipis Ibam di tangan kanan. Mundur satu langkah saat Ibam melompat bangkit dari atas dipan. Ibam mendengkus keras-keras. "Gue bilang balikin!"
"Enggak bisa, Ibrahim. Ini sudah menjadi peraturan pesantren. Kalau kamu mau protes, protesnya ke kiai Usman. Bukan saya."
Perdebatan panjang tak bisa dielakan. Ibam kukuh dengan keinginannya dan terus membantah Bayu. Bayu yang berkepala batu pun tak mau tahu. Hingga akhirnya Ibam menyerah, terlalu lelah terus beradu mulut di saat tubuhnya sedang lemah. Bayu keluar asrama bersama kemenangan, meninggalkan Ibam yang detik berikutnya mengumpat juga memaki Bayu habis-habisan. Sejak pagi itu Ibam menandai Bayu dengan kalimat 'orang paling menjengkelkan'. Berlanjut pada rentetan kejadian mengesalkan hingga Ibam benar-benar menganggap Bayu sebagai rival bebuyutan. Bahkan sampai sekarang. Sampai di mana dirinya membutuhkan bantuan laki-laki yang baru selesai mengajar itu agar tak dikeluarkan.
Ibam mendesah gusar. Mengusap wajah kasar. "Kenapa harus dia, si?" Gerutunya, pelan.
Kemudian mengayun kaki menuju ujung selasar. Menghampiri Bayu bersama beberapa santri putra yang berjalan beriringan sambil mengobrol riang. Mereka tak memedulikan sekitar, termasuk Ibam yang datang dari arah berlawanan. Ibam memaksakan senyum begitu Bayu melirik pandang. Dia sedikit menepi lalu membuka mulut untuk menyapa, "Assalamualaikum, Bang Bayu."
Seperti dugaan Ibam, Bayu tak mengacuhkan. Pura-pura sibuk meladeni santri yang bertanya banyak hal, melewati Ibam seolah dirinya makhluk astral. Ibam mengembuskan napas dalam, mengusap dada sambil bergumam "sabar". Lantas dia berbalik badan, berlari kecil sampai membaur bersama rombongan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...