part 28 a.a

195 44 0
                                    

Ibam meletakan tumpukan buku di meja Bayu. Keluar kantor sambil memutar-mutar pergelangan tangannya yang pegal. Beberapa hari menjadi asisten Bayu cukup meremukkan tulang. Pinggang Ibam terasa hendak copot saat melakukan gerakan ruku dan sujud. Belum lagi pundak serta kaki yang selalu digunakan sepanjang hari. Namun meski demikian, Ibam tak bisa protes. Bagian dari belajar, dan cara Ibam membayar karena akan Bayu ajari, kata lelaki itu.

Ibam bergerak menghampiri Bayu yang sedang mengobrol bersama pengurus lain di dekat bangku semen. Lalu ketika pengurus tersebut pamit pergi, Bayu menatap Ibam.

"Sudah?" tanyanya.

Pelan, Ibam mengangguk. Masih memutar-mutar pergelangan tangan. Bayu yang sadar pun lantas berdecak lirih, meraih tangan Ibam, ditarik tanpa permisi. Membuat Ibam menjerit. "Eh, sakit sakit!"

"Besok sudah enggak pegel lagi." Setelahnya Bayu melipir. Masuk ke kantor dan menutup pintu.

•••

Ibam merebahkan badan ke dipan. Meletakan juz ama di atas wajah sambil memejam. Aroma kertas terhindu masuk hidung, terasa menggelitik tetapi tetap Ibam pertahankan. Lirih Ibam terus bergumam, mencoba menghafal surat al-bayyinah yang ingin disetor nanti malam. Meski telat dan melanggar ketentuan kiai Usman,---juz 30 dalam sebulan---Ibam kukuh memulai lagi dari awal, dan bertekad menyelesaikannya segera mungkin.

Jadi, setelah membantu Bayu melakukan banyak hal, Ibam menggunakan waktu ba'da asar untuk mengurung diri di kamar sendirian. Aris yang akhir-akhir ini sibuk berkumpul bersama santri Ulya jarang menemani Ibam di waktu luang. Dan untuk dua manusia lain di kamar ini, Ibam rasa belum ada sinyal untuk saling mengakrabkan diri. Sampai sekarang komunikasi yang terjadi hanya sebatas menguluk dan menjawab salam. Tak heran juga, sebenarnya. Mengingat mereka yang masih seumuran Aris---terlalu polos hingga besar kemungkinan takut bergaul dengan Ibam yang terkenal nakal---wajar jika tak mau membuka topik obrolan kendati terkurung di satu ruang. Lalu untuk Ibam sendiri, dia merasa segan untuk memulai. Sikapnya yang dulu suka terang-terangan memanfaatkan Aris di depan teman sekamarnya itu membuat Ibam jengah. Takut dikira ingin melakukan hal serupa jika tiba-tiba menyapa.

"Sialan! Kenapa malah jadi muter-muter, si, Bam!" Gerutunya pada diri sendiri. Merubah posisi menjadi tengkurap, menyangga dagu menggunakan bantal. Sementara kedua kaki menggantung di pinggir ranjang. Mata Ibam awas bergerak ke kanan dan ke kiri, menekuri larik demi larik ayat.

Di ambang pintu, Irwan berhenti. Mengetuk sambil mengucapkan salam. Lantas Ibam menarik diri, langsung berdiri.

"A Ibam dipanggil Ustaz Bayu."

"Oh, oke. Makasih."

Setelah mengangguk, Irwan pergi. Lekas Ibam memakai kopiah dan mengekori. Berpapasan bersama para santri di sepanjang selasar asrama sebelum turun ke halaman paving, lalu memasuki area kelas diniyah yang tak kalah ramai. Ibam memacu kaki saat Bayu melambaikan tangan. Tersenyum begitu sampai, lengkap bersaman ucapan salam yang dilontarkan.

"Mumpung sore ini cuaca bagus, kamu ikut saya ke kebun."

"Baik, Ust."

Bayu mengangkat alis. "Tumben enggak banyak tanya."

Hanya mengangguk yang Ibam lakukan. Mengikuti Bayu menuju gudang dekat kandang di kebun belakang pondok. Laki-laki itu menghilang sebentar ke kamar mandi, keluar dengan setelan lusuh dan topi kerucut warna kuning khas petani. Koko putih juga sarung hijau yang tadi melekat dilipat rapi, diletakkan di atas lemari. Sejenak Ibam menelisik penampilan Bayu, tak menyangka jika laki-laki itu tak merasa gengsi sama sekali. Maksudnya, baju hitam lengan panjang itu sudah bolong di beberapa bagian. Celananya pun tak jauh beda.

"Ada sepatu bot satu lagi. Barangkali kamu mau pakai, ada di dekat bangku semen," katanya sambil memilah arit. Berbalik badan, menatap Ibam yang masih tak bergeming. "Enggak mau?"

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang