"Berhubung waktunya sudah lumayan meped, kita coba meraba-raba harakat ayat itu, ya."
"Baik, Ust."
Bayu menulis dua kata di buku Ibam. "Sebenarnya cara ini enggak dianjurkan. Maksudnya, salah satu harakat saja bisa merubah arti. Namun bismillah saja. InsyaAllah saya sudah tahu ayat tersebut lengkap dengan arti, jadi memudahkan untuk mengkoreksi. Ini hanya sebagai ihktiar karena kamu enggak mau saya kasih jawaban instan."
Setelahnya Bayu menggeser buku ke arah Ibam.
"Ada فاستقم dan كما. Coba keduanya bumbuhi harakat fathah."
Ibam menurut.
"Dibaca, Ibrahim."
"Faasatakama. Kamaa."
"Nah, artinya apa?"
"Em ...." Ibam melipat bibir ke dalam, berpikir. Beberapa kosa kata bahasa Arab di kepalanya berhamburan ke mana-mana. Dan tak satu pun menemukan arti dari apa yang barusan dibaca. Dia menatap Bayu ragu, menggeleng gamang setelahnya. "Nggak tahu Ustaz. Aku belum ngafal sampai situ."
"Kalau gitu buka kamusnya. Cari."
"Baik, Ustaz." Segera Ibam membuka. Mencari kata kunci sebelum dibaca cepat dari lembar pertama ke lembar berikutnya. Setelah memastikan tak ada, dia berpindah ke kata kunci selanjutnya. Kaf. Memindai semua yang tertera. Tak terduga, ada kata serupa. Lekas Ibam mendekatkan kamus ke depan mata. Memastikan. Senyumnya seketika mengembang saat yakin jika memang benar adanya. "Kamaa, artinya sebagaimana, seperti."
Bayu mengangguk. "Sekarang tulis. Sementara simpen dulu jawaban itu. Kita berpindah ke أمرت dan ومن."
"Fathah juga, Ust?"
"Iya."
Lagi, Ibam melakukan perintah Bayu. Kali ini dengan inisiatifnya sendiri dia langsung menulis perkata keseluruhan ayat dan mengharakati-nya. Kemudian membuka kamus guna menemukan makna. Bayu di kursi depan diam sambil memerhatikan. Sesekali membenarkan saat Ibam melakukan kesalahan. Nada bossy, mendikte dan tak sabaran---merebut pena di tangan Ibam untuk mencoret hal yang menurutnya tak perlu Ibam catat di buku. Membuat Ibam menarik dan mengembuskan napas dalam diam-diam.
Namun meski demikian, Ibam akui, Hasan benar, jika Bayu memang sangat bertanggung jawab atas ilmu yang diemban. Terbukti dari jam belajar yang selalu rutin dituntaskan kendati sudah seharian full Bayu melakukan kesibukan. Dan untuk itu, Ibam merasa amat berterima kasih. Lalu nasihat Hasan tempo hari---untuk memaafkan Bayu---sudah Ibam renungkan ulang semalam. Hasilnya, Ibam merasa malu bukan kepalang. Bahkan sampai memaki diri sendiri karena sudah berlebihan dalam menanggapi ucapan Bayu. Lebay. Cengeng. Padahal apa yang pernah, bahkan sering Ibam lontarkan jauh lebih tak bermoral.
Andai malam ini Bayu kembali menyebutnya bodoh, Ibam berjanji tak akan keberatan. Akan tetapi hingga jam pertemuan hampir selesai, Bayu tetap menahan lisan. Tak banyak berbicara di luar penjelasan. Sebagai gantinya, laki-laki itu meminta Ibam push up, skot jump juga lari di tempat saat Ibam mulai hilang fokus.
"Kita sudahi dulu untuk malam ini, Ibrahim. Silakan beristirahat."
"Terima kasih, Ust."
Ibam membereskan buku lalu berdiri. Diikuti Bayu di seberang meja. Ibam membungkuk, mengulurkan tangan hendak meminta salaman. Bayu mengernyit, barulah saat Ibam mengangkat pandang, laki-laki itu sadar dan lekas memberikan punggung tangan kanannya, dibiarkan dicium takzim oleh Ibam. Ibam pamit keluar, mendekap buku sambil melenggang di selasar lengan. Ditemani angin yang menyingkap bagian bawah sarung hitamnya sepanjang jalan. Dan malam-malam selanjutnya, Ibam kembali datang untuk belajar. Duduk di tempat biasa, melipat tangan di atas meja dengan perhatian penuh menghadap depan. Sesekali mencatat di bukunya. Sesekali ijin keluar membasuh muka saat kantuk mulai menggelayuti mata. Juga sesekali melakukan skot jump sebab tak bisa mengingat hafalan kosa kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...