Hasan mengedarkan pandang guna mencari keberadaan Ibam di perpustakaan. Puluhan rak kayu menyentuh plafon berjejer membentuk lorong-lorong di tengah ruangan, menampung rapi ratusan buku agama sesuai kategori. Semua tempat baca yang tersedia hampir seluruhnya diisi santri. Termasuk Ibam yang akhirnya berhasil Hasan temukan. Anak itu ada di paling belakang, menyempil di tembok. Duduk anteng sambil serius membaca buku di atas meja. Tiga buku lain nampak tertumpuk di sebelah siku kanannya.
Hasan bergerak menghampiri. Menarik bangku di depannya hingga menimbulkan bunyi. Ibam mengangkat wajah, disambut Hasan dengan senyuman.
"Lanjut saja, saya cuma pengen lihat."
Mengembuskan napas, Ibam menggeleng. Menutup buku lalu menyandarkan sebelah bahu ke tembok. "Nggak bisa. Gue nggak konsen kalo diliatin."
"Duh, berarti saya ganggu. Ya udah, saya pergi saja, deh." Hasan hendak beranjak saat Ibam menggeleng untuk mencegat. Hasan kembali mendaratkan badan yang sempat terangkat. "Katanya enggak konsen."
"Abang nyari gue?" tanya Ibam alih-alih. Absennya penjaga siang ini sedikit banyak membebaskan para santri untuk bersuara. "Ada apa?"
"Enggak ada apa-apa. Lagi luang, dan saya kangen ngobrol sama kamu."
Ibam mengangguk-angguk. Tak terlalu peduli.
"Gimana progresnya?" Hasan menautkan telapak tangan di atas meja.
"Nggak gimana-gimana."
"Kenapa?"
"Nggak kenapa-napa."
"Ada masalah?"
"Gue masalahnya."
Mengernyit tak paham, Hasan memajukan badan sampai dadanya membentur pinggiran meja. "Maksud? Coba yang jelas gitu lho, Bam, kalau jawab. Jangan bikin saya penasaran."
Sejenak Ibam diam. Entah karena berpikir atau ragu untuk mengutarakan sesuatu hal. Hasan yang beberapa hari ini sibuk mengurus pembanguan pesantren khusus untuk anak jalanan ketinggalan kabar tentang Ibam. Bayu pun tak banyak memberi informasi saat tadi dirinya bertanya. Dan Hasan pikir memang sebab tak ada kendala. Namun melihat wajah murung Ibam, kini Hasan tak yakin memang demikian.
"Gue sama sekali nggak paham apa itu nahwu, isim dan teman-temannya. Otak gue beneran buntu belajar gituan. Gue ... capek, Bang. Serius."
Mendengar itu, Hasan tak terkejut sama sekali. Dia mengangguk. "Kamu mau nyerah sekarang?"
Ibam tak langsung menjawab. Matanya tak berani menatap Hasan. Keraguan jelas memberayang di wajahnya.
"Gue pengen lo yang ngajarin, Bang," lirihnya. "Belajar sama Ustaz Bayu berat. Kalau boleh jujur, gue suka pas lo ngajarin gue ngaji dulu. Karena alih-alih bilang bacaan gue salah, lo malah bilang bagus meski kurang tepat. Buat gue seenggaknya ngerasa berhasil. Sementara Ustaz Bayu, dia nggak segan ngatain gue bodoh. Ya, gue tau gue emang bodoh. Tapi beneran dikatain bodoh itu beda cerita. Gue down. Ilang semangat. Ampas banget."
"Kamu mau denger pendapat saya soal ini?" Ibam mengangkat pandang. Tak mengangguk atau menggeleng. Hanya memberi jawaban lewat sorot mata. Hasan tersenyum tipis. Menjulurkan tangan, menepuk pundak Ibam. "Capek dalam belajar itu wajar. Asal jangan putus asa." Lalu Hasan kembali menegakan badan. Bersandar. Kaki menyilang di bawah meja. "Dan masalah Bayu, kamu punya hak untuk merasa enggak terima. Protes saja, enggak apa-apa. Karena memberikan vonis bodoh pada murid itu kecacatan moral seorang pengajar."
Ibam berdecak. "Yang ada nanti gue dikatain durhaka."
"Enggak jika kamu melakukannya dengan sopan."
"Nggak. Gue tetep nggak mau. Riskan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...