part 8.

363 54 4
                                    

Setelah melakukan perkenalan singkat di depan, Ibam diminta duduk di bangku yang disediakan. Awalnya Ibam tak keberatan meski teman semejanya seorang perempuan. Namun lama kelamaan Ibam menjadi tak nyaman karena cewek berjilbab pendek itu terus bertanya banyak hal. Tidak penting pula!

Beberapa menit berselang, Ibam masih tahan dan tetap tak mengacuhkan. Cewek itu kembali bertanya, menunjukan buku lalu menyarankan agar Ibam mau menyalin semua catatan miliknya.

"Nggak. Gue bisa minta sendiri sama wali kelas."

"Ya udah. Nanti mau nggak, ke kantin bareng? Aku bayarin, deh."

"Gue nggak butuh duit lo."

Cewek tadi merengut, tetapi tak lama tersenyum lebar. "Kalo minta nomer, boleh, nggak?"

Ibam memejam, menggenggam erat pulpen di tangan. Berusaha tetap menjaga emosi. Sungguh, kekesalannya terhadap Bayu terbawa sampai ke sekolah, dan tak menutup kemungkinan akan bertambah sebab ocehan cewek itu yang agaknya tak punya malu.

"Bam ..."

Ibam kehilangan kesabaran! Dia bangkit sambil mendorong kursi sampai terjungkal ke belakang. Bunyi gaduh yang diciptakan menarik perhatian seluruh kelas, termasuk bu Fatma.

"Kenapa, Ibam?" tanya beliau, menutup board meker.

"Saya nggak mau duduk berdua sama dia." Ibam menunjuk cewek di sampingnya. Cewek itu langsung menunduk jengah. "Saya minta disediakan satu bangku lagi, Bu."

"Lho." Bu Fatma melepas kacamata, menghampiri meja Ibam. "Ada masalah apa? Ibam mau tukeran duduk?"

"Nggak. Saya maunya duduk sendirian."

"Tapi, Nak, pembagian tempat duduk memang harus dua-dua."

"Saya sekolah di sini bayar, Bu." Ibam menatap mata bu Fatma. "Saya punya hak menuntut kenyamanan, dan menambah satu bangku lagi nggak merugikan sekolahan."

Songong sekali perkataan Ibam, kira-kira begitulah pikiran temas sekelas. Dan, cowok di pojok seberang tak tahan untuk tidak menyeletuk pelan, "belagu."

Ibam melirik tajam, "Lo ngomong apa tadi?" Dengan intonasi datar, tetapi menakutkan.

"Eh ...." Si tersangka gelagapan. Perasaan suaranya tak lebih dari gumaman? "Bukan, Bam."

"Gue nggak budeg. Jelas-jelas lo ngatain gue belagu."

"Nggak, Bam. Aku tadi nggak bermaksud."

"Mau cari ribut sama gue?"

Bu Fatma menegur Ibam saat anak itu melenggang menghampiri cowok tadi. Bu Fatma bahkan berjanji akan menyediakan satu tempat duduk lagi setelah istirahat. Sayangnya, Ibam tak peduli. Dia justru menarik paksa kerah seragam Dafa sampai berdiri.

"Si Hanan, Bam." Dafa menunjuk teman sebangkunya. Cengengesan. "Dia yang bilang duluan."

"Lho, kok aku Daf?"

"Dasar keparat!" Kasar, Ibam menyeret Dafa, dan mendorong punggungnya ke tembok. Mengunci leher Dafa menggunakan lengan. Cicitan mulai bersahutan. "Lo nyalahin temen lo buat nutupi kesalahan lo sendiri?" Ibam menggeleng, melanjutkan, "pecundang!"

"Ibrahim, stop," tegur bu Fatma sekali lagi.

"Lo." Ibam menggebrak tembok di samping kepala Dafa. Cowok itu refleks memejam. Jeritan kaget lepas dari mulut cewek-cewek, disahuti olok-olokan para cowok yang tiba-tiba saja membentuk kerumunan di sekitar mereka. Ibam mengeraskan rahang, sorot matanya tajam, menciutkan nyali siapa pun yang berhadapan. Dan, Ibam tahu, amarahnya salah sasaran. Terbukti dari wajah Bayu yang justru membayang. Ah, laki-laki itu yang harusnya ada posisi ini. Bukan Dafa. "Ulangi ucapan lo tadi, dan minta maaf sebagai seorang laki-laki."

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang