Tiga bulan kemudian ...
"Ibam!"
Ibam menoleh, mendapati Hasan yang mendekat sambil membawa arit. Sarung batik hijau khas produksi pesantren dan koko putih yang dirangkap jas hitamnya sangat rapi. Rambut legam menyentuh tengkuk tertutup kopiah putih berlogo Darul Anfal. Mungkin laki-laki itu baru pulang dari acara resmi sebagai perwakilan kiai Usman.
"Daripada asap-asapan gini, kamu mending ke sawah aja. Petik daun pisang."
"Berapa banyak, Gus?"
"Semua yang tumbuh di pinggiran sungai deket sawah. Itu milik pesantren. Kamu tahu kan, lokasinya?"
Mengangguk, Ibam meletakkan kipas anyaman bambu di dekat tungku. Mengelap kedua telapak tangan berdebunya menggunakan sarung coklat yang dikenakan. Setelahnya menerima arit dari Hasan. Berpamitan dan menguluk salam. Namun sebelum Ibam sempat berbalik badan, Hasan sudah menghentikan. Memintanya menunggu sebentar. Tak lama Hasan kembali muncul bersama Irwan, Guntur dan dua santri lain yang Ibam tahu seumuran Irwan. Banyaknya ibu-ibu tetangga yang datang membantu di dapur jelas sudah cukup menangani urusan makanan. Tak memerlukan tenaga tambahan.
"Kalian berempat temenin A Ibam, ya?" Perintah Hasan, langsung mendapat anggukan. Hasan lantas menatap Ibam, tersenyum. Senyum hangat yang berhasil membuat Ibam menjadi seperti sekarang---Ibam yang merasa bangga menyandang status santri di pesantren Darul Anfal. "Hati-hati ya, Bam."
"Iya, Gus. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Kemudian kelima santri itu keluar dapur bersama. Berjalan beriringan sambil mengobrol ringan. Lalu saat sampai di area pesawahan, Ibam melepas sandal. Diikuti keempatnya yang mengular di belakang. Mereka bergerak sangat hati-hati, beceknya tanah lumpur membuat kaki tak bisa berpijak pasti. Alhasil sesekali tergelincir dan terjatuh tak bisa dihindari. Beruntung tak sampai masuk ke sawah dan merusak tanaman muda padi. Atau tercebur ke anak sungai dangkal di sebelah kiri yang gemericik airnya menemani desau angin di tengah terik surya siang hari.
Beberapa menit berselang, Ibam serta kawan-kawan sampai di tempat tujuan. Langsung turun ke arah sungai, melompati bebatuan besar yang mencuat untuk sampai ke seberang. Ibam mengayunkan arit, menebas dengan gerakan luwes setiap daun pisang yang dirasa lebar dan bebas dari lubang. Kencang angin yang menggoyangkan batang pohon pisang tak membuat Ibam kesusahan.
"A Ibam teh jadi ikut Qira'atul Qutub tahun ini?" Bain bertanya, membuntuti Ibam sambil mengutip daun pisang yang berserakan.
"Jadi, insyaAllah."
"Hebat, euy, A Ibam. Udah bisa baca kitab kuning, padahal teh belum lama mondok."
"Berkat gemblengan Ustaz Bayu dan Gus Hasan. Kamu sendiri bagaimana? Persiapan duror buat besok udah oke semua, kan?"
"Sudah, A. Alhamdulillah."
"Bagus-bagus." Ibam sedikit merunduk, membabat rumput liar yang menghalangi jalan sebelum kembali meraih tangkai daun pisang. "Ngomong-ngomong, In, ini daun pisang banyak-banyak buat apaan, ya?"
"Buat persmanan semua santri, A. Jadi nanti setelah acara imtas selesai kita tasyakuran sambil makan-makan pakai alas daun pisang di halaman. Sekalian bikin kenangan sebelum anak-anak yang lulus dikirim ke ma'had, A."
Ibam mengangguk paham. Melanjutkan kegiatan. Kemudian begitu selesai dia membantu teman-temannya membawa gulungan daun pisang. Kali ini dia berjalan di belakang. Dahinya mengernyit saat Irwan berbelok ke arah pesawahan. Capung warna-warni yang berseliweran tak menghalangi jarak pandang Ibam.
"Mau ngapain?!" teriak Ibam, kencang. Mengalahkan kelontangan kaleng kosong yang dirangkai mengelilingi sepetak sawah, dan berhasil menarik perhatian petani di sekitar. Maklum, pematang yang sedang dilewati kelima anak itu memang ada diapit hamparan sawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...