"Sebenernya nggak seutuhnya gitu. Gue ... Aku pernah dibully pas SMP. Nggak punya temen. Ditolak di kelas sendiri."
Alis Bayu bertaut. "Masa sih? Anak seperti kamu mengalami dibully juga?"
"Justru aku jadi kayak gini karena dibully. Mereka bakal ngerasa hebat, dan tambah kesenengan kalo aku lemah."
Manggut-manggut, Bayu berkata, "Ya, saya paham. Cuma, di pesantren kasus dan situasinya enggak seperti itu, yang artinya kamu juga enggak seharusnya menggunakan cara serupa di sini."
Ibam menoleh.
"Kamu sadar enggak, kalau kamu itu melawan arus? Maksudnya, alih-alih menempatkan diri dan mengikuti ketentuan di lingkungan baru, kamu justru berusaha merubah lingkungan itu mengikuti lingkungan lama kamu. Alhasil, kamu banyak ditimpa kesulitan karena mempertahankan idealisme kamu. Contohnya masalah hp, benda yang selalu kamu perjuangkan, bahkan sampai memanfaatkan Gus Aris. Di tempat asalmu, benda itu memang sudah seperti mata kedua. Dari kebutuhan sekunder berubah menjadi primer. Namun di pesantren, hp enggak lebih sekedar benda setan yang sering melalaikan manusia untuk menjalankan kewajiban. Bahkan ekstrem-nya, tanpa sadar bisa menjadikan orang syirik. Itulah kenapa bermain hp enggak dibebaskan."
"Syirik?"
"Iya, syirik. Enggak apa-apa kalau kamu enggak setuju. Ini pendapat pribadi saya. Saya enggak akan memaksa kamu. Sebelumnya, kamu tau kan pengertian syirik?" Ibam mengangguk. Bayu pun mengangguk, melanjutkan, "baik, berarti kita sudah sepakat, syirik di sini berarti menyekutukan, atau menduakan Allah. Kalau di jaman jahiliah, bentuk syiriknya jelas, yaitu menyembah selain Allah. Namun di jaman sekarang, perbuatan syirik bukan hanya tentang menyembah berhala, misal. Atau ke dukun mencari pesugihan yang jelas-jelas dilarang. Tapi lebih ke sesuatu yang bersifat remeh sampai pelakunya enggak sadar. Seperti main HP, bekerja, menonton TV atau sejenisnya. Hakekatnya, kegiatan-kegiatan tersebut enggak dilarang islam. Boleh-boleh saja dilakukan. Namun, kalau sudah membuat seseorang melupakan kewajiban, hukumnya bisa berubah haram. Sebab, secara enggak langsung, kita sudah lebih mengutamakan hal tersebut daripada Allah. Mau enggak mau, mengakui atau enggak, itu termasuk syirik kecil yang kalau dibiarkan terus menerus bisa menjadikan seseorang kafir.
Contoh lain, yang lebih sepele tetapi fatal, adalah: merasa tak bisa hidup bila tidak bekerja di suatu kantor; merasa tak bisa makan jika tak punya sawah; merasa enggak ada gunanya hidup setelah diputusin mantan; menyalahkan bencana alam yang mengakibatkan kerusakan, dan lain-lain. Hingga prioritasnya berganti menjadi bagaimana mempertahankan itu semua, dan mengingkari Kebesaran Allah, Sang Pemilik dunia. Poinnya, syirik adalah menduakan Allah. Apa pun bentuknya. Wallahu a'lam ..." Bayu memutar wajah, "ngomong-ngomong jam berapa?"
Ibam mengerjap. Fokusnya buyar. Dia mengangkat tangan kiri. "Pukul 16.40, Ust."
Mengangguk, Bayu kembali menghadap depan.
"Oke, berarti kita lanjutin saja dulu obrolannya sampai jam lima. Masalah pakan bisa dicari besok. Dan, saya rasa pembahasannya sudah melenceng dari apa yang sebenarnya ingin saya bahas. Saya akan to the poin saja sekarang. Seperti yang saya bilang sebelumnya, di otak kamu ada prinsip 'kalo gue benar, gue berhak melawan.' Ya, memang, hal itu enggak salah, tetapi juga bukan pemikiran benar. Karena kebenaran pada kenyataanya enggak lebih dari sekadar impresi. Menyesuaikan lingkungan dan situasi. Bukan sesuatu yang konkret. Contohnya, kepala botak kamu. Di pesantren, saat semua santri punya rambut, penampilan kamu adalah sesuatu yang ganjil. Menjadi pusat perhatian, bahkan menjadi pembicaraan. Sekarang, coba balik posisinya. Kamu yang punya rambut, dan semua santri botak. Apa yang terjadi? Kamu jadi pusat perhatian. Dianggap ganjil.
"Ibrahim, kebenaran enggak seharusnya dijadikan alasan untuk bersikap arogan. Andai orangtua kamu punya salah sama kamu, kamu enggak berhak menghardik mereka. Bagaimana pun, mereka orangtua kamu, orang yang berjasa dalam hidup kamu. Dan bukan hal mustahil seandainya suatu hari dan kondisi kesalahan itu menjadi kebenaran. Atau, mungkin, guru di sekolahan, atau Ustaz di pesantren berlaku salah terhadapmu, kamu juga enggak pantas mengajaknya berkelahi ... Jangan menatap saya begitu. Iya, saya memang sedang ingin menyindir kamu ... Mau protes?"
"Enggak, Ust," jawab Ibam sangsi.
"Bagus. Itu artinya hati kamu mulai lembut." Bayu berdeham. "Oke, saya lanjutkan. Jadi, daripada mengajak berkelahi, kamu bisa meluruskan di momen itu tanpa melupakan fakta dengan siapa kamu berhadapan.
"Jujur saja, saya malu setiap kali kamu manggil saya Ustaz, Ibrahim. Karena saya tahu kamu menginginkan sesuatu dari saya yang tidak bisa kamu dapatkan dengan cara lain, selain menuruti perkataan saya. Dalam artian kamu mengormati saya karena segelintir alasan, dan akan kembali menganggap saya musuh saat alasan itu hilang. Bukan sebagai guru yang memberi ilmu, atau orang yang lebih dewasa dari kamu. Lalu, saya pun jadi menyimpulkan jika sikap kamu juga demikian di luar sana. Bahkan enggak jarang menggunakan uang dan kekuasaan untuk bersikap sewenang-wenang, seperti yang kamu lakukan pada Gus Aris, teman-teman sekelas, atau bahkan pembantu yang bekerja di rumahmu---hanya karena beliau dibayar oleh mama-papamu, kamu merasa pantas menyuruh-nyuruh beliau seenaknya, enggak menghargainya sebab merasa beliaulah yang membutuhkan pekerjaan, bukan sebaliknya. Dalam artian lagi, kamu enggak melihat beliau sebagai orang yang lebih tua, tetapi pekerja yang dibayar, yang mana memang enggak masalah bila diperlakukan kurang sopan oleh majikan. Atau pada Nenek dengan pola pikir 'kalo gue bener, gue berhak melawan', barangkali. Sebab beliau suka mencampuri urusanmu, kamu pun sebal dan suka merutuki dalam hati. Menganggap sok tahu dan apalah. Bahkan memilih menghindarinya. Padahal, sikap beliau yang kadang menyebalkan tersebut tak ada apa-apanya dibandingkan semua kasih sayang yang sudah beliau curahkan terhadap kamu."
Ibam melipat bibir ke dalam. Menjatuhkan pandang ke pangkuan. Ucapan Bayu benar, dan berhasil menyengat telinga serta perasaan Ibam.
"Maka dari itu, kita, para pengurus pesantren ingin berusaha merubahnya. Ingin seenggaknya menipiskan ego para santri, menanamkan sifat rendah hati yang senantiasa saling mengormati. Bukan hanya yang lebih tua, tetapi sebaya, bahkan dibawah kita. Seagama atau beda, majikan atau pembantu. Semua. Enggak pandang bulu. Menghormati untuk menjadi manusia, bukan untuk mendapatkan penghormatan serupa. Dan saya tahu Gus Hasan sudah lebih dulu melakukannya. Meminta kamu menyapu halaman, membersihkan kandang sapi bersama mang Jaja. Semata-mata ingin menunjukan, meski kamu anak temennya kiai Usman, tuan muda saat di rumah, di pesantren kamu sama seperti santri lainnya. Kamu enggak istimewa dengan segala kemewahan yang dipunya. Kamu enggak lebih baik hanya karena orangtua kamu sering memberi dana. Dan kamu perlu tahu, bahwa derajat ilmu lebih tinggi dari harta. Namun orang berakhlak mulia jauh lebih baik dari orang yang berilmu saja."
Tbc ...
A/N
Mohon maaf jika ada kesalahan, atau kekeliruan. Silakan berikan koreksi menggunakan bahasa yang sopan. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...