part 11 a.

327 55 2
                                    

Saat Ibam akan kembali ke kamar setelah mengikuti kajian subuh kiai Usman, Hasan yang duduk bersama bu Nyai di bangku semen selasar memanggil Ibam sambil cengengesan. Kemudian sengaja membuat Ibam berbasa-basi, dan tiba-tiba memuji Ibam.

"Ibam mah anaknya rajin bersih-bersih, Mi," kata Hasan.

Bu Nyai nampak percaya. Menatap Ibam terkesima. Ibam yang terkejut pun hanya bisa memprotes berupa bisikan, ditanggapi Hasan dengan kekehan.

"Biasanya jam enam mulai nyapu halaman. Baru setengah tujuhnya mandi sebelum sekolah. Tapi hari ini kan libur tanggal merah, jadi enggak pa-pa lah, Bam, kalau agak siangan." Di akhir kata, Hasan menahan tawa. Dan Ibam tahu laki-laki itu sedang balas dendam padanya karena waktu itu menolak membantu di kadang.

"MasyaAllah sekali, Ibam. Benar seperti itu?" Bu Nyai menggeleng takjub, membuat Ibam tak punya pilihan selain mengiyakan.

Jadi, setelah mengganti koko putih dan sarung hitamnya menjadi kaos oblong coklat dipadu training, Ibam benar-benar melakukan apa yang Hasan bilang meski asal-asalan. Sesekali dia bahkan memaki. Atau membanting sapu. Kadang juga menendang skop sampah ketika benda itu tidak mau berdiri. Sungguh, ini kali pertama Ibam menggunakan benda-benda tersebut dengan tangannya sendiri. Selama di rumah, Ibam hanya perlu duduk diam dan menunggu. Di sekolahan, siswa-siswi tak pernah diminta membereskan kelas. Semuanya sudah ditangani penjaga kebun.

Lalu begitu selesai dengan halaman, Hasan kembali memanggil Ibam. Kali ini menggunakan nama kiai Usman sebagai pancingan. Dia mengajak Ibam ke kandang menemui mang Jaja yang sedang mengobrol bersama kiai Usman.

"Eh, Ibrahim," sapa kiai, tersenyum ramah. Ibam mengangguk, balas tersenyum sebelum mencium punggung tangan beliau sebagai bentuk penghormatan. "Ibrahim beneran mau bantu Mang Jaja bersihin kandang?"

Apa?! Ibam mendelik ke arah Hasan. Hasan mengedikkan bahu seolah tak tahu.

"Ibrahim?"

Ibam mengembuskan napas. "Iya, Abah."

"Terima kasih, ya, Ibrahim. Kebetulan hari ini banyak santri yang keluar menghadiri acara tasyakuran di kota."

"Jangan lupa kasih makan ya, Bam. Saya mau ke luar dulu, ada urusan." Hasan mengedipkan satu mata, menepuk-nepuk pundak Ibam lalu pergi bersama kiai Usman. Meninggalkan Ibam dengan Mang Jaja yang nampak sungkan.

Ibam menatap punggung Hasan sambil mengeratkan gigi-giginya kesal. Laki-laki itu sungguh keterlaluan. Bagaimana bisa dia melakukan ini pada Ibam? Jika bukan demi menjaga wajah di depan kiai dan bu nyai, Ibam jelas akan menolak melakukan pekerjaan babu itu. Untung saja mang Jaja mengerti, meminta Ibam memerhatikan saja dari pinggir. Ibam tak punya alasan untuk tak mengiyakan. Dia pun melipir ke arah bangku semen kecil di depan gudang dan duduk bersandar tembok di sana beberapa jam. Namun melihat wajah berkeringat mang Jaja yang kelelahan menyentil hati kecil Ibam. Belum lagi keadaan fisik mang Jaja yang kurang sempurna di bagian tangan kanan, membuat Ibam seperti sedang dipermalukan oleh badan tinggi-jakungnya secara terang-terangan.

Ibam mendesah panjang, bangkit dan akhirnya ikut turun tangan. Mang Jaja semringah, sesekali menyuruh Ibam mengambilkan sesuatu di gudang. Dan tepat pukul 10.00 pagi mang Jaja pamit pulang sebentar, berdalih harus menjemput istrinya di pasar yang ternyata memakan waktu lebih dari satu jam. Mau tak mau Ibam melanjutkan sendirian, tanggung dan tak mungkin ditinggalkan sebab setelah dhuhur kiai Usman akan datang lagi untuk mengecek kandang. Katanya, salah satu pembeli berniat menjemput sapinya hari ini.

"Sumpah, Hasan sialan!" Ibam mengeratkan genggaman pada pegangan ember kosong yang tadi diambil di gudang, dibawa ke kandang sebagai wadah air minum sapi. Namun di jarak beberapa meter, Ibam dibuat terdiam sebentar oleh keberadaan Aris yang sedang memboyong tumpukan rumput ke kandang. Anak itu menyingsing sarung hijaunya sampai dengkul, melangkah melewati ilalang tanpa ragu.

Zenith (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang