Ibam menggendong tas di pundak kanan, melenggang santai menuruni anak tangga. Jas hitam almamaternya diikat di pinggang, kemeja putih keluar dari celana, dan dasi yang disampirkan asal di kerah kemeja. Dia mengedarkan pandang begitu alas sepatu Nike hitamnya menyentuh ubin marmer putih ruang makan. Di atas meja sudah terhidang piring berisi nasi goreng udang kesukaan Ibam, lengkap dengan susu di gelas tinggi. Namun, siluet Mama yang biasanya menyambut riang tak didapati.
Pelan, Ibam menghela napas. Hampir saja berharap jika mama-papa akan bersikap wajar seperti biasa.
Bi Imah mendekat dari arah belakang, menyapa Ibam dan memintanya sarapan. Ibam menggeleng, berkata akan makan di sekolahan sebelum keluar.
Dia menunggangi motor hitam kesayangan yang entah sejak kapan diambil dari kantor polisi. Memakai helm, menggerungkan gas lalu melesat melewati gerbang rumah yang terbuka lebar. Agaknya kedua orangtuanya belum lama pergi, dan ke mana mereka, Ibam tak tahu pasti. Bisa ke rumah Eyang putri di Bogor, ke mall membeli barang, atau sengaja menghindarinya.
Menyadari fakta terakhir, Ibam mendengkus kesal. Menutup helmnya rapat. Menaikan kecepatan, meliuk di antara celah mobil yang berjalan lamban sebab kemacetan. Pendar surya yang masih keorenan menghias cantik langit ibu kota yang pagi ini lebih pekat dari biasa. Melatarbelakangi gedung perkantoran di sisi kanan-kiri jalan.
Ibam berhenti saat lampu merah terjadi. Mengumpat, menekan klakson berkali-kali hingga menjadi pusat perhatian. Di zebra cros, beberapa orang menyebrang sambil menatap Ibam tak suka. Di antara mereka, ada anak jalanan yang mengenakan kostum boneka sambil membopong bagian kepala.
Tak lama lampu berganti warna. Ibam melesat mendahului. Setelah sekian meter, dia berbelok ke kawasan sekolahan yang mirip kompleks perumahan. Bedanya hanya ada gedung empat lantai sekolah yang besar, berdiri gagah di tengah lahan luas ditumbuhi rumput segar.
Ibam menekan klakson di bibir gerbang SMA Nusa, membuat beberapa siswi yang baru turun dari mobil atau taksi menyingkir memberi jalan. Mereka menatap punggung Ibam sampai dia memarkirkan kendaraan di antara puluhan motor yang berjajar rapi sesuai batas yang ditentukan.
Jam pelajaran, Ibam lewati dalam diam. Bel istirahat yang berdendang bahkan tak membuatnya beranjak keluar. Pikiran Ibam sedang melalang buana sekarang. Memutar ulang percakapan orangtuanya di ruang keluarga yang sempat didengar.
Semalam, saat Ibam tak sengaja melintas untuk mengambil minuman di kulkas, Ibam mendapati mama papa duduk berhadapan. Membicarakan suatu hal. Karena penasaran, Ibam bersembunyi di balik pagar pembatas tangga, menyatu dengan guci keramik besar yang kebetulan berwarna sama dengan baju coklatnya. Semakin tersamarkan oleh lampu rumah yang hampir padam seluruhnya, menyisakan remang dari neon redup yang biasa bi Imah nyalakan.
Nampak mama masih semurung siang tadi.
"Menurut Papa gimana?" tanya mama. Jilbab yang setiap hari rapi membungkus rambut hingga dada tak Ibam dapati. Tentu saja. Sudah pukul 23.37, waktu yang seharusnya digunakan untuk tidur, bukan berdiskusi.
"Terserah Mama. Papa dukung apa pun keputusan mama. Semua kan demi kebaikan Ibam juga."
"Apa iya Ibam bakal mau?"
"Mau. Harus mau."
Mama menghela napas. Mengangguk sekali. Papa bangkit, beralih ke samping mama. Dan setelah itu tak ada lagi kejelasan tentang apa yang sedang mereka bahas.
"Ibam!"
Seseorang berseru di ambang pintu kelas. Ibam menegakan badan, menatap tajam si pelaku.
"Gue disuruh Bu Rena buat nagih tugas fisika."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...