Napas Ibam tersendat. Dadanya seperti ditindih bongkahan batu berat. Keadaan senyap, gelap dan sesak. Ruang tempatnya berbaring sangat sempit, basah juga dingin menusuk kulit. Ibam berusaha bangkit, mengangkat tubuh bagian atasnya yang terasa kaku. Dia mengerahkan seluruh tenaga hingga mengerang kepayahan, memanggil mama-papa meminta bantuan. Namun bukannya mendapat sahutan, gema suaranya sendiri malah terdengar seolah sedang menertawakan. Ibam menendang-nendang dinding tanah, menggempur kerikil yang perlahan berjatuhan dari segala arah.
"Siapa pun, tolong gue!"
Sesuatu bergerak menggelitik leher Ibam. Ibam melirik ke bawah, membulatkan mata saat seekor kelabang kecil bergerak menyusuri dada telanjangnya. Hewan itu berhenti tepat di area jantung, menggerak-gerakan kepala hingga lubang kecil berlumur darah tercipta di sana. Ibam berteriak sekencang-kencangnya. Merancau tak jelas seperti orang gila.
"Plis, Mama!"
Masih tak ada sahutan. Ibam mulai mengumpat, mendesis dan mungumpat, lagi.
"Pergi, sialan!" Ibam meniup-niup hewan tadi. Berdecak keras. Marah, takut juga gelisah membuatnya kembali menendang dinding tanah.
"Hasan! Aris! Woy, tolong gu ...."
Cahaya putih kelewat terang menusuk mata Ibam dan memaksanya terpejam. Lalu gravitasi besar menarik Ibam keluar, menempatkannya di sebuah ruang berisik diisi banyak orang. Pelan, Ibam mengerjap menyesuaikan pandang. Meraba badan yang kali ini berpakaian serba hitam. Dia mengedarkan mata, terhenyak seketika saat sadar jika kakinya menapak ubin di ruang tamu rumah. Mama nampak duduk bersama beberapa perempuan berkerudung di karpet, mengelilingi seseorang yang berbaring tertutup kain putih.
Mengayun kaki, Ibam bertanya-tanya dalam hati. Ada apa? Siapa di sana? Barulah saat tiba di belakang punggung mama, Ibam mengernyit tak percaya dengan apa yang disuguhkan di depan mata. Cowok berwajah pucat pasi itu dirinya. Dan bagaimana bisa itu terjadi di saat dia justru sedang berdiri dengan keadaan sehat di sini?
Ibam menggosok mata. Berharap dia hanya sedang berhalusinasi saja. Namun, keadaan tak ada yang berubah.
Menggeleng-geleng, Ibam berkata, "Nggak. Gue nggak mungkin mati."
Ibam beringsut ke tengah, berdiri menjulang sambil memerhatikan wajah-wajah itu yang seolah tak terganggu. Lantas dia melompat-lompat kecil. Berteriak frustrasi ketika tak ada respon didapati.
"Ini semua nggak nyata. Ini semua ilusi! Gue masih hidup! Woy!"
Panik, Ibam mendekat ke arah mama, mencoba menyentuhnya dan berakhir terjerembab ke depan melewati tubuh mama sebab dirinya yang tembus pandang. Tiba-tiba mama bangkit dari tempatnya, disusul papa yang sejak tadi anteng di antara para pria. Kedua orang tua Ibam masuk ke dalam, memaksa Ibam segera bangkit dan ikut serta mengayun langkah guna mencari kejelasan. Namun di luar dugaan, wajah mereka malah semringah atas kepergian Ibam. Mama duduk di sofa, menghela napas dalam lalu tersenyum lega.
"Besok udah nggak ada lagi anak yang suka bikin masalah," kata papa, enteng. Merangkulkan tangan ke pundak mama yang detik berikutnya menyandarkan kepala.
"Iya, Pa. Mama nggak perlu lagi nanggung malu di depan keluarga. Gara-gara Ibam, mama sering dipojokkan."
"Gimana kalau pemakamannya dipercepat saja, Ma?"
"Boleh. Lebih cepat lebih baik."
"Ma!" Ibam berteriak sekuat tenaga. Nihil. Kedua orangtuanya bergeming. Asyik membicarakan kehidupan tanpa Ibam di dalamnya. Ibam menarik bantal sofa. Lagi-lagi terjerembab dengan alasan sama. "Nggak mungkin. Gue belum mati! Gue nggak mau mati!"
Berlari keluar, Ibam berteriak kesetanan. Menghampiri raga tanpa nyawa miliknya. "Bagun, anjir!"
Bacaan surat yasin masih mengudara, memantul ke langit-langit tinggi rumah. Ayat demi ayat terasa menyayat telinga Ibam. Dia mengerang, menutup telinga sambil bersimpuh tak berdaya. Air mata yang keluar tak berguna, suara dari kejauhan semakin nyata dan menarik kesadaran Ibam sepenuhnya.
•••
"وَجَعَلۡنَا مِنۡۢ بَيۡنِ اَيۡدِيۡهِمۡ سَدًّا وَّمِنۡ خَلۡفِهِمۡ سَدًّا فَاَغۡشَيۡنٰهُمۡ فَهُمۡ لَا يُبۡصِرُوۡنَ"
Ibam terduduk seketika. Dadanya naik-turun dengan cepat. Keringat sudah membasahi sekujur badan. Dia mengedarkan mata, mengembuskan napas lega sebab masih di kamar asrama. Hasan di sampingnya menegakan badan, tersenyum puas karena tak perlu mengeluarkan tenaga untuk memaksa Ibam terjaga.
"Lain kali saya bacain surah yasin lagi kalau kamu enggak bangun tepat waktu."
Mendengar itu, Ibam menusuk pandang. Meraih bantal lalu dipukulkan pada Hasan dengan kesal. Hasan tertawa kegirangan, menjauhi sisi ranjang Ibam.
"Nggak lucu, tau nggak!" bentak Ibam, mendengkus keras-keras. Mimpi barusan benar-benar menakutkan. Bahkan detak jantungnya masih tak bisa dikendalikan. Ibam mengusap dada pelan, rasa nyeri yang tertinggal tak kunjung hilang.
Menelengkan kepala, Hasan mendekat. Duduk di pinggir dipan. "Kamu enggak apa-apa ... Ck, maaf, deh." Hasan mengembuskan napas. "Habisnya kamu kalau tidur suka kaya mayit."
Ibam tak menanggapi, bangkit menuju lemari untuk mengambil baju ganti. Hasan melirik arah nakas, menggeleng takjub mendapati tajwid dan buku panduan salat terbuka di sana.
"Semalam kamu gadang buat belajar, Bam?" tanyanya, berdiri. Membolak-balik halaman buku itu lalu tersenyum.
"Gue mau keluar. Serah lo kalo mau tetep di dini." Ibam menutup pintu kamar tanpa berbalik badan. Melenggang santai sambil sesekali mengirup oksigen pagi yang terasa menenangkan. Keadaan selasar yang sudah lengang, membuat suara pintu juga sandal Hasan di belakang jelas terdengar. Tak lama, tangan laki-laki itu bertengger di pundak Ibam, dibiarkan begitu saja oleh Ibam yang sedang tak ingin berbicara.
Gimana kalo tadi gue bener-bener mati? Gimana kalo kelabang di mimpi itu pertanda ...
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...