Sudah lima hari ini Ibam menjadi orang yang seolah tak tahu diri: memanggil Bayu sok akrab; tersenyum lebar meski diabaikan; lalu suka tiba-tiba menimbrung saat Bayu sedang mengobrol bersama temannya. Entah itu di selasar, halaman, depan kantor pengurus, atau di mana pun. Jujur, Ibam malu. Bahkan sangat-sangat malu. Tak jarang santri lain memberinya tatapan iba, berkata lewat mata seakan meminta Ibam untuk berhenti saja. Lalu secara tak terduga, para santri sebaya mulai mengakui eksistensi Ibam sebagai bagian dari mereka. Tak jarang ada cowok yang menyapanya lebih dulu, atau sekadar menganggukkan kepala saat berpapasan. Meski bingung bukan kepalang, Ibam memilih membalasnya dengan hal serupa. Pelan-pelan Ibam pun ikut membaur bersama. Dimulai dengan memperkenalkan nama. Menyimak obrolan mereka. Kemudian nyaman berbagi cerita dan tawa. Tentu belum semua, hanya cowok-cowok itu saja yang seingat Ibam memang bersekolah di SMA yang sama. Mungkin karena itu juga dua-tiga anak sudah mengetahui nama lengkap Ibam---berkat panggilan menggelegar guru BK dulu lewat aula.
"Sebentar, Ustaz Bayu udah keluar. Gue ke sana dulu, ya."
Ibam beranjak dari bangku semen selasar depan kelas Ula. Diangguki keempat cowok yang sejak tadi duduk di sana menemani Ibam. Ibam menggulung kitab tipis dan memasukan ke saku koko hitamnya. Dia mengembuskan napas lewat mulut, bersemangat. "Oke, Bam. Kita mulai beraksi."
Dia menyebrangi halaman, melompat di depan Bayu sambil merentangkan dua tangan. Bayu dan beberapa santri nampak kaget, refleks beristighfar dan mundur satu jengkal. Mereka menatap Ibam dengan sorot sebal. Sementara di tempatnya, teman Ibam berdiri, memperhatikan.
"Assalamualaikum, Ustaz," kata Ibam, tersenyum lebar. Senyum yang saat Ibam coba peragakan di depan kaca kamar mandi membuatnya memaki habis-habisan. Sok polos, sok asyik, idiot ... Entah apa lagi.
"Waalaikum salam," jawab Bayu, ogah-ogahan. Diikuti murid-muridnya di belakang.
"Boleh aku bantu bawa kitabnya, Ust?"
Melirik dekapan di dada, Bayu menggeleng. Setelahnya menoleh melewati bahu kanan. "Ayo. Udah malam, kalian harus istirahat."
"Baik, Ust."
Tanpa permisi, rombongan Bayu pergi. Ibam mengembuskan napas, menoleh ke arah selasar sebelum menyunggingkan senyuman lebar pada teman-temannya yang menunjukan raut kasihan. "Aman! Gue nggak pa-pa."
Satu cowok bergerak menghampiri Ibam. Rambutnya yang hitam legam tertutup rapi oleh kopiah putih dengan pin khusus---khas santri tingkat Ulya---seperti Aris.
"Kamu enggak mau nyoba minta bantuan Ustaz lain, Bam?"
"Siapa? Gue belum kenal banyak orang di sini, jujur aja."
Sejenak cowok itu diam, berpikir. "Kalau Gus Hasan gimana?"
"Ck, kalo tu orang bisa, gue nggak bakal serepot ini, Fikri."
"Oh, iya, ya." Fikri meringis.
"Menurut lo, selain Bang Hasan sama Bayu, siapa lagi kira-kira?"
"Bayu?" Heran, Fikri mengangkat alis tinggi-tinggi.
"Iya, si Bayu."
"Astaghfirullah. Kamu manggil Ustaz Bayu pakai nama saja? Tanpa embel-embel?" Fikri menggeleng. "Durhaka kamu sama guru."
"Durhaka? Emang dia papa gue."
"Bam, guru itu orang tua kedua kita. Ridha dan kemarahannya mempengaruhi keberkahan ilmu yang kita pelajari. Mungkin karena itu juga Ustaz Bayu enggak mau bantuin kamu. Kamunya enggak menghormati beliau, sih."
"Emang gue keliatan kurang ajar, ya?"
"Banget." Lagi, Fikri meringis. Lalu menurunkan pandang ke saku Ibam. Kertas nampak mencuat di antara kitab. "Ngomong-ngomong, boleh lihat itu enggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...