Ibam menaruh tas punggung hitamnya ke atas kasur. Bergegas menarik handuk dari lemari dan melipir keluar kamar. Dia memacu kaki, tak ingin terjebak antri. Namun sesampainya di lokasi, beberapa santri justru sudah berbaris rapi di depan pintu kamar mandi.
Mengeluarkan debas, Ibam meletakan ember kecil berisi peralatan mandi di samping tempatnya berdiri. Lantas menyandarkan punggung ke tembok sambil melipat tangan di bawah dada. Satu kakinya menghentak kecil, menatap lurus ke halaman paving yang tak pernah absen dilalui.
"Iya, duluan." Seseorang keluar, berjalan melewati Ibam. Aroma samponya menguar tajam. Sandal jepit yang dikenakan meninggalkan bekas becek di selasar.
Menghela napas, Ibam mengurai tangan, melongok ke dalam. Lima bilik yang disediakan sama-sama sedang ditunggu. Dan setengah jam sebelum asar tak cukup untuk mereka semua membersihkan diri. Ibam putuskan untuk beranjak pergi. Melewatkan mandi sorenya sebab tak ingin tertinggal jama'ah seperti kemarin, dan berakhir dita'zir membaca nadhoman di depan banyak orang. Bagaimana pun setelah asar nanti Ibam ada janji menemui Bayu di TPA. Bukan hal bagus jika membiarkan sang guru menunggu lama.
Ibam masuk ke kamar asrama. Mendapati Irwan dan Guntur yang langsung menganggukkan kepala begitu melihatnya. Menyapa.
"Kalian mau mandi?" tanya Ibam, basa-basi. Melirik ember di tangan keduanya. "Antrian masih panjang, btw. Gue aja nggak jadi."
"Kita mandi di sungai, A," sahut Guntur. Menyampirkan handuk ke tengkuk. Menarik lengan Irwan dan berbalik badan.
Cepat, Ibam bertanya, "sungai yang mana?"
Hingga keduanya sama-sama saling pandang. Agak lama, sebelum Guntur menjawab tanpa menoleh, "sungai di belakang pesantren."
"Emang ada?"
"Ada." Kali ini Irwan buka suara. Lanjut melangkah setelahnya. Meraih kenop pintu. Dibuka lebar-lebar, membiarkan angin menyibak rambutnya ke belakang.
"Boleh gue ikut?" Sebenarnya Ibam tak berharap banyak. Namun tak disangka mereka mengiyakan ucapannya begitu saja. Lekas Ibam mengekori, tak berbicara barang satu kata pun hingga sungai yang dimaksud tersaji di depan mata. Airnya bersih. Tak terlalu besar dengan arus yang lumayan tenang. Bebatuan di bawah sana nampak jelas muncul ke permukaan. Rumput liar rambat tumbuh di sepanjang benteng batu setinggi dua meter di sebelah kanan. Sementara sebelah kirinya berupa jalan setapak bermatrial batu koral.
Irwan dan Guntur tak segan melepas pakaian---diamankan bersama sandal jepitnya di tempat yang kering. Menyisakan celana training sebelum terjun sambil melompat girang. Membuat cipratan air mengenai Ibam yang masih mematung di pinggiran.
Ibam mengusap wajah, mengembuskan napas dalam saat sadar jika kemeja putih dan celana abu-abunya ikut basah. Lalu sedikit gamang dia memasukan sebelah kaki ke sungai. Kemudian bergidik kedinginan. Tak lama, cipratan kembali Ibam dapati. Kali ini lebih banyak dan bertubi-tubi. Berbeda dari Ibam yang jengkel tak ketulungan, kedua pelakunya justru tak menyadari sama sekali. Asyik bermain saling serang sambil tertawa girang. Baru mengalihkan pandang begitu Ibam melayangkan protesan, lengkap dengan wajah kesal.
Ibam mendesah kasar. Mau tak mau terjun ke sungai bersama seragam di badan. Dia menatap wajah Irwan dan Guntur yang menciut bergantian. Setelahnya berdecak pelan, risi sebab dirinya seolah baru saja bertingkah kejam, padahal sudah jelas di sini dia adalah korban. Lalu Ibam ikut bermain cipratan. Berpura-pura kesenangan. "Rasain, lo!"
Dan sekali percobaan tak memberi efek cair seperti yang Ibam harapkan. Justru keduanya saling lempar pandang sambil menggeleng samar, tak paham. Ibam tidak menyerah, melakukan hal kekanakan itu terus menerus hingga akhirnya mendapat balasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...