Hari ini Ibam akan menjalani hukuman yang kiai Usman berikan. Hasan yang tadi menjemput Ibam di kamar melangkah di sampingnya dalam diam hingga tiba di halaman. Di sana sudah ada kursi yang disediakan untuk Ibam.
Pelan, Ibam mengembuskan napas. Menjaga dagu agar tetap menghadap ke depan, berusaha tak acuh dengan tatapan menghakimi yang mengikutinya sejak di selasar. Dia didudukan, dipasangi selembar kain putih membalut separuh badan.
"Bisa mulai sekarang?" tanya cowok di belakang punggung Ibam, memegang gunting juga sisir. Siap memangkas habis rambut legam yang selama ini Ibam jaga dengan perawatan mahal.
"Ehm."
Lantas suara khas gunting tajam terdengar, disusul helaian rambut yang berguguran mengotori sekitar. Tanpa sadar Ibam mengepalkan tangan, menatap lekat gumpalan hitam yang perlahan terkumpul di pangkuan.
Hasan maju lebih dekat saat melihat setetes air yang Ibam jatuhkan dari pelupuk mata. Menghela napas dalam nan berat, Hasan memberi kode pada Ulya untuk menghentikan kegiatan.
"Tapi, Gus ..." Ulya urung melanjutkan kata, mengangguk sekali lalu menyingkir dari sana. Membiarkan Hasan mengambil alih tempatnya.
"Guntingnya, Ul."
Tanpa suara, Ulya menyerahkan dua benda di tangan. Setelahnya bergeming memerhatikan. Ibam membuka mata, sedikit mendongak mempertemukan pandang dengan Hasan. Laki-laki itu tersenyum, menepuk pundak kanannya penuh keyakinan, seolah berucap jika semua akan baik-baik saja. Namun jelas tak seperti itu kenyataanya. Penampilan pelontos mengkilap Ibam malah semakin memperjelas stigma negatif yang disematkan pada namanya.
Ibam si pembuat onar!
Ibam yang kurang ajar!
Ibam santri bengal!
Anak nakal dan tak patut dicontoh!
Dan entah apa lagi yang bisa mendeskripsikan sorot mata mereka. Jujur saja, selama eksistensinya di dunia, baru kali ini Ibam merasa begitu hina. Seolah setiap jengkal sang kaki berpijak tak memiliki hak untuk membaur bersama. Alhasil, Ibam memilih bergegas menuju kamar begitu selesai. Tak peduli dengan Hasan yang memintanya tetap tinggal.
Di ambang pintu, dua teman Aris menjembul keluar dari dalam. Menilai penampilan Ibam diam-diam. Ibam menyeruak masuk saat tersadar, membuang kopiah yang dikenakan ke sembarang, bertepatan dengan suara pintu ditutup kasar.
Ibam duduk di pinggir dipan, menutup wajah menggunakan dua tangan yang bertumpu siku di paha. Dia membuang napas berkali-kali, mencoba mengurai emosi meski nihil didapati. Keras, Ibam berteriak. Melempar bantal ke seberang, menabrak ranjang Irwan sebelum jatuh ke lantai. Belum merasa puas, Ibam menarik selimut dan seprai. Berteriak lagi. Mengumpat. Memaki. Tak peduli jika suaranya terdengar sampai keluar. Lalu selang beberapa saat, Ibam menundukkan punggung dan terisak pelan.
Tidak adil, satu gagasan yang bersarang di kepala Ibam. Namun ketidakberdayaannya membuat Ibam hanya bisa diam dan menelan bulat-bulat gumpalan pahit kenyataan. Kenyataan jika Bayu bahkan tak sedikitpun mendapat kecaman, melainkan sikap simpatik dari orang-orang seakan baru saja menjadi korban. Circle, lingkungan juga statusnya sebagai santri teladan memang tak mendukung fakta bahwa perkelahian tak bisa terjadi hanya dengan satu orang.
•••
Ibam menoleh saat suara Hasan terdengar. Laki-laki itu mendekat lalu duduk di sebelahnya. Diam, menatap lurus ke depan sambil mengayunkan kedua kaki yang menggantung di pinggiran bangku semen selasar. Aneh. Ibam mengedikkan bahu, kembali melanjutkan apa yang sedari tadi dilakukan. Membaca juz ama meski kadang harus lewat tulisan latin. Hukuman lain dari kiai Usman berupa setoran hafalan juz 30 selama sebulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...