Ibam berdiri di selasar lantai satu, sedang menunggu seseorang sambil bersandar punggung sejak sepuluh menit lalu. Dia menyeringai saat targetnya datang, kemudian menegakkan badan dan menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan di tengah selasar. Hingga keempat cowok itu saling pandang kebingungan. Sementara di belakang mereka, Aris menggeleng samar pada Ibam yang justru tersenyum menenangkan.
"Pada mau ke mana, nih?" tanya Ibam, dibuat seriang mungkin. "Ke kantin, ya? Yuk, barengan. Gue traktir, deh."
Salah satu cowok maju, menelisik penampilan Ibam. Jam tangan mahal, sepatu mahal, seragam dan wajah baru. Dahinya mengernyit. "Saha anjeun? naha ujug-ujug nawarkeun traktiran?"
Ibam menggaruk alis menggunakan telunjuk, memandang Aris sambil memberi kode untuk mengartikan kalimat barusan. Aris bersuara dari belakang, menunduk saat keempat teman sekelasnya menoleh bersamaan.
"Oh." Mengangguk paham, Ibam mengulurkan tangan. "Kenalin, nama gue Ibam, anak kelas 11, saudaranya Aris yang baru pindah dari Jakarta ke Bandung." Satu persatu Ibam menjabat paksa adik kelasnya, tersenyum culas sekaligus mendengkus diam-diam. "Salam kenal."
"Bang," lirih Aris.
Ibam tak mengacuhkan.
"Gue lagi nyari temen, nih. Kebetulan, kalian juga temen Aris. Iya, kan?" Kata "kan" Ibam tekankan, mengangkat kedua alis menunggu reaksi. Dia membaca nametag keempatnya. "Gimana Aden, Prabu, Zidan dan Eko? Mau nggak?"
Empunya nama saling sikut, berbisik-bisik agak lama sebelum mengiyakan ajakan Ibam.
Ibam berbalik badan, berjalan paling depan sampai ke kantin SMA yang berisiknya melebihi swalayan. Dia memilih meja di luar, tepatnya di bawah pohon kersen yang kebetulan baru ditinggalkan. Tempatnya teduh, dinaungi rindang daun yang menghalangi terik matahari. Ibam menyuruh yang lain memesan, dan menarik Aris duduk di sampingnya.
"Bang Ibam mau ngapain?" tanya Aris begitu perundung itu mengahambur pergi, terlewat senang karena empat lembar uang ratusan ribu yang Ibam beri.
"Udah, lo diem aja. Serahin semua sama gue."
"Tapi Bang, nanti kalau mereka ngelunjak gimana?"
Ibam berdecak. "Nggak bakal. Percaya aja sama gue. Kalo ada apa-apa, gue yang tanggung jawab. Nama lo bersih."
Tak lama mereka kembali ke meja, membawa masing-masing mangkuk dan gelas sesuai selera. Ibam hanya memerhatikan saja, menunggu waktu yang pas untuk melancarkan aksinya.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga menit.
Empat menit, Ibam menyeringai. "Waktu itu gue pernah liat kalian di belakang sekolah sama Aris."
Zidan tersedak dan segera menenggak isi gelas. Suapan kuah bakso barusan sepertinya cukup pedas hingga mata dan wajahnya memerah.
"Udah berapa lama temenan? Pasti udah lama, ya?"
"I-ya, Bang." Prabu menjawab ragu, tersenyum kikuk. Diangguki teman-temannya. Kecuali Zidan yang masih terbatuk.
"Oh." Ibam mengangguk, berangkul Aris untuk menunjukan keakraban. Anak itu banyak diam, malah seolah enggan mengangkat pandang. "Sama dong. Gue juga ada temen di Jakarta. 12 orang. Mau liat?"
Tanpa menunggu konfirmasi, Ibam melepaskan pundak Aris. Mengeluarkan HP dari celana lalu mencari foto dia bersama gengnya. Diulurkan tepat di depan wajah keempatnya.
"Bang Ibam punya geng motor?" Aden bertanya mewakili. Dengan senang hati Ibam membenarkan. "Wah! Keren."
"Tau apa yang lebih keren?" Ibam berbisik, mengkode dengan telapak tangan agar orang di depannya mencondongkan badan. "Gue punya kendali seutuhnya di sana. Dan ..." Menggulir ponsel, Ibam menunjukan foto lain di mana dirinya sedang melakukan tawuran. "Kita selalu unggul."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...