Alarm di bawah bantal Aris berbunyi, memecah hening yang kemudian menarik sadar empunya dari dunia mimpi. Anak itu mengangkat badan, duduk bersila sambil mengucek mata. Lalu mematikan jam katak sebelum melipat selimut ke atas bantal, dan gegas menuruni tangga besi ranjang. Dia melipir ke seberang, mebangunkan kedua temannya seperti biasa. Mereka langsung terjaga, beranjak tanpa harus Aris mengulang perkataanya. Aris beralih ke arah Ibam, menggoncang pelan pundaknya.
"Bang, bangun. Salat tahajud."
Ibam bergumam, menggeliat kecil di balik selimut yang membebat separuh badan.
"Bang Ibam."
"Hm."
"Bangun."
"Bentar lagi," sahut Ibam, serak. Matanya masih terpejam rapat.
"Gus, enggak mau bareng?"
Aris menoleh, menggeleng dan tersenyum. "Aku nyusul nanti."
"Oh, oke. Kalau gitu kita duluan, ya. Assalamualaikum."
Mereka menutup pintu setelah Aris menjawab salam. Aris kembali menghadap Ibam. Mengguncang lagi bahunya. "Bang Ibam, bangun. Tahajud."
Ibam menarik selimut sampai kepala. "Lima menit lagi."
Melirik jam dinding, Aris garuk-garuk kepala. Jika dia tak segera ke mushala, Abah akan mencarinya. Menyuruh pengurus yang bertugas membangunkan santri untuk menjemput ke kamar. Karena sudah menjadi kebiasaan Aris yang bangun paling awal, pengurus memang selalu melewati kamarnya untuk dimasuki. Namun Ibam juga tak bisa Aris biarkan. Setidaknya sebelum semua upaya membangunkan dilakukan.
Akhirnya Aris pun memilih menunggu lima menit lagi, menghitung detik demi detik sambil berdiri. Dan tepat di menit ke lima, Aris mengulangi kegiatannya.
"Bang, udah lima menit. Nanti ketinggalan jama'ah tahajud."
Mengerang pelan, Ibam menyingkirkan tangan Aris dari lengan dengan kasar. Berbalik badan, menatap Aris tajam. Aris menelan ludah, mundur dua langkah. "Em ... udah waktunya tahajud, Bang."
Ibam menghela napas, tak jadi marah. Kasihan juga melihat Aris yang menciut seperti anak kecil. "Badan gue masih nggak enak, Ris. Lo tolong izinin, ya."
Aris membasahi bibir, tak yakin alasan Ibam sebuah dusta atau kebenaran. Namun menanyakan hal itu sama saja bunuh diri. Ibam pasti akan menyemprotnya. Selain mengangguk dan pamit pergi, Aris tak memiliki opsi. Meski saat ditanyai pengurus perihal Ibam yang siang tadi terlihat jalan-jalan tetapi pagi ini beralasan demam, dia bingung setengah mati. Jadi, Aris hanya tersenyum sambil bergumam. Untunglah hal tersebut tak berkepanjangan karena setelah tahajud dan subuh, topik pembicaraan berubah haluan membahas ceramah Abah.
Aris pergi ke kamar, disambut Ibam di ambang pintu. Perasaan Aris mendadak tak enak. Ada sinyal tak bagus dari sorot mata Ibam.
Buru-buru Aris meraih handuk. Tak peduli meski baru setengah enam. Namun sebelum berhasil melepaskan diri, Ibam sudah mengintrupsi. Suaranya penuh perintah, tak bisa Aris bantah. Hubungan baik antara Abah dan keluarga Ibam membawa beban tersendiri bagi Aris. Pak Danu, papah Ibam adalah orang yang aktif membantu untuk pengembangan yayasan pesantren Darul Anfal. Beliau mengenal Abah saat masih kuliah di Bandung. Aris mendengar cerita itu dari Abah dua hari lalu, tepatnya saat diminta makan di ndalem. Dan mengenai hubungan teman lama bersama Ibam, Aris tak pernah berharap apa-apa. Lagipula sebagian besar ingatan masa kecilnya tak bertahan lama, berganti dengan teman-temannya di pesantren. Ada Irwan---anak laki-laki bertubuh pendek nan gempal, Guntur---cowok tinggi ceking bermata bulat yang kebetulan disatukan di kamar ini. Mereka datang dari satu kota, ke mana-mana selalu berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...