Ibam tak tahu apa yang sedang mama-papa lakukan di rumah. Dua panggilan yang coba dia lakukan tak mendapat jawaban atau balasan. Dan untuk kembali menekan dial nomornya, Ibam ragu. Pikirannya berbisik jika mama-papa bisa saja sengaja mengabaikannya. Masih marah, mungkin. Atau papa yang ingin menegaskan bahwa beliau benar-benar tak bercanda melarang Ibam pulang sebelum merubah diri.
Lagi, Ibam mengembuskan napas berat. Meyakinkan kakinya agar tak beranjak dari sofa kantor pengurus. Dia akan menunggu, tak berpaling dari layar gelap gawai mahalnya di pangkuan. Sebentar lagi, kata Ibam pada diri sendiri. Namun satu jam berlalu, masih tak ada panggilan atau pesan, mengundang getir yang perlahan meringsekkan perasaan.
Dia melipat bibir ke dalam. Hidungnya bergelenyar seiring hawa panas yang merambat dari dada ke wajah. Rasanya Ibam ingin marah, mengumpat sekeras-kerasnya hingga puas. Akan tetapi sesuatu seperti menahan Ibam. Keberadaan Hasan beserta teman-temannya di luar juga tak bisa dilupakan. Karena meski Ibam tak peduli dengan imagenya, terlihat menyedihkan dengan cara seperti ini, seolah menjadi anak kekurangan kasih sayang, benar-benar memalukan.
Ibam menyesal mengikuti apa yang Hasan bilang untuk menggunakan jadwal rutin menelpon seminggu sekali. Mungkin jika tadi Ibam tetap di kamar, atau ikut bersama Aris yang ingin menyetorkan hafalan, sekarang hatinya masih terselamatkan. Lantas, Ibam memilih keluar. Melangkah lebar sambil mengepalkan tangan. Lalu, menjalani sisa hari dengan mood berantakan, banyak diam bahkan setelah malam mengganti siang.
Tak ayal, Aris pun menjadi penasaran tentang hal apa yang sedang Ibam pikirkan. Beberapa kali dia bertanya keadaan Ibam, tetapi selalu Ibam jawab, "nggak ada" sambil menunjukkan ekspresi datar.
Kemudian yang bisa Aris lakukan adalah mengangguk dan diam. Sama seperti sekarang. Dia sedang berjalan beriringan menuju kamar setelah salat isya di mushala.
"Bang," panggil Aris ragu. Tak tahan melihat Ibam terus membisu. "Prabu sama temen-temennya udah nggak nyuruh-nyuruh Aris lagi. Mereka kayaknya takut. Makasih, ya.
"Bagus kalau gitu."
"Em ... Bang Ibam lagi enggak enak badan, ya? Atau Aris punya salah?"
Mengembuskan napas dalam, Ibam menoleh. Tersenyum paksa sambil menggeleng. Setelahnya Aris memilih bungkam sampai ke kamar asrama.
Ibam langsung merebahkan badan tanpa mengganti koko putih dan sarung hitamnya, memunggungi Aris yang hanya masuk mengambil kitab untuk mengaji, dan bertahan di posisi itu hingga Aris kembali. Lalu, paginya, Aris dikejutkan oleh Ibam yang sepertinya tak tidur semalaman. Cowok itu sedang duduk di pinggir ranjang sambil menundukkan pandang. Nampak frustrasi. Baru tersadar saat Aris beranjak menekan lampu penerang ruang.
"Lo ke mushala, kan?" tanya Ibam.
"Iya, Bang.
"Bareng, ya?"
Aris mengangguk. "Tapi Aris bangunin temen-temen dulu ya, Bang."
"Em."
Tak lama, kedua penghuni lain terjaga. Bercakap-cakap sebentar bersama Aris sebelum keluar sambil menguluk salam. Ibam bangkit, menarik sarung di kepala ranjang. Mendekati Aris yang tengah membuka lemari.
"Bang Ibam tadi tidur, enggak?"
"Kenapa emang?"
Menutup pintu, Aris memutar badan. "Soalnya kalau belum, salatnya bukan salat tahajud, tapi salat Qiyamul lail, salat malam."
"Kok bisa gitu?" Alis Ibam bertaut samar.
"Iya, Bang. Tidur atau enggaknya yang menjadi pembeda salat sunah malam tersebut. Hal itu menjurus pada pendapat Imam Romli dalam karyanya, Nihayatul Mutaj Ila Syahril Minhaj. Menyebutkan, 'salat tahajud disunahkan berdasarkan firman Allah Ta'ala---dan pada sebagian malam hari salat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadan tambahan bagimu. (Q.s Al-Isra:79) dan berdasarkan ketentuan Rasulullah SAW dalam melakukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...