Ibam menyandang tas hitam berisi barang-barang elektroniknya, termasuk gawai. Lalu menarik koper penuh dengan baju. Di ambang pintu, Aris, Irwan dan Guntur berdiri berhadapan. Memandangi Ibam. Berbeda dengan kedua temannya, Aris sudah terang-terangan menghapus air mata. Bahkan sejak semalam. Sejak Ibam mulai menyampaikan pesan dan kesan perpisahan.
Mendekat, Ibam tersenyum lembut. Menepuk pundak Aris. "Gue pulang ya, Ris."
Aris menarik ingus. Mengangguk. Tak bersuara. Hanya bibirnya yang bergetar. Ibam beralih pada Irwan-Guntur. Mengacungkan kepalan tangan yang disambut hal serupa oleh keduanya. "Pulang ya, Bro. Makasih buat yang di sungai. Asli, seru banget."
"Sama-sama. Hati-hati di jalan, A." Irwan bersuara.
"Thanks."
Melewati kusen pintu kamar asrama, Ibam mengembuskan napas berat. Menggenggam erat pegangan koper yang ditarik di samping badan. Entah kenapa, di sepanjang langkah Ibam menyadari banyak hal. Salah satunya area luas pesantren yang ternyata belum sepenuhnya dia jajah. Dan ... Ibam menyayangkan fakta itu. Namun, sekarang sudah terlambat. Dirinya tak lagi memiliki waktu. Kurang dari dua puluh meter lagi kantor pengurus tergapai kaki. Kurang dari setengah jam pula dia meninggalkan tempat ini. Papa sudah Ibam kabari. Katanya akan datang pukul 08.00 pagi. Semoga tak terjebak macet sebab saat weekend jalanan selalu dipadati.
Lagi, Ibam mengembuskan napas berat. Berusaha menekan gemuruh di dada, dan berusaha menampilkan wajah tenang pada setiap orang yang memusatkan perhatian. Mereka tak terhitung. Menyebar di selasar dan halaman.
Tiba di kantor pengurus, Ibam disambut Hasan di ambang pintu. Laki-laki itu mengambil alih koper Ibam meski Ibam menolak sebab tak enak. Bagaimanapun Hasan adalah orang yang cukup dihormati. Terlebih keberadaan kiai Usman, serta Bayu dan kelima guru lain, persis seperti dua hari lalu.
"Duduk, Bam," kata Hasan setelah menyimpan koper Ibam ke pojok ruang. Mendaratkan badan ke sofa singgle, berhadapan dengan kiai Usman---bersekat meja kaca persegi panjang.
"Iya, Gus." Ibam menyamankan badan di sofa sebelah Hasan. Topi hitam, sweater dan jeans warna senada yang dikenakan nampak jomplang jika disandingkan bersama Hasan, Bayu, kiai Usman dan kelima guru yang rapi berbusana islami.
"Ibrahim," panggil kiai Usman. Hangat. Ada senyum yang muncul di wajah teduh beliau. "Gimana rasanya akan pulang?"
Ibam balas tersenyum. "Campur aduk."
"Sudah pamit sama teman-teman kamu?"
"Sudah, Bah."
"Teman sekolah?"
"Kalo temen sekolah belum sempet. Mungkin nanti sekalian sama papa ngambil surat pindah."
Kiai Usman tersenyum makin lebar. "Tidak perlu." Setelahnya menaruh tumpukan baju yang diambil dari belakang punggung ke atas meja. "Ini seragam pesantren kamu. Biasa dipakai saat menghadiri undangan ke pesantren lain."
Perkataan terakhir kiai Usman tak urung membuat dahi Ibam terlipat, lengkap dengan ekspresi kebingungan. Namun alih-alih bertanya kejelasan, dia menoleh ke arah Hasan, dan mendapat respon gelengan. Beralih pada Bayu ... Tetap tak menemukan jawaban.
"Kamu percaya kamu sudah gagal, Ibrahim?" Suara kiai Usman menarik pandang Ibam kembali ke depan. Beliau membeber kertas di meja setelah menggeser seragam Ibam. "Mencari tafsir belum ranah kita yang masih fakir ilmu, Ibrahim. Abah tidak serius memintamu mencari itu. Yang Abah ingin lihat adalah kegigihan, juga keseriusanmu untuk mencari ilmu di pesantren. Abah tahu tidak mudah buatmu membujuk Ustaz Bayu. Abah tahu kamu tak pernah belajar apa pun tentang seluk beluk bahasa Arab, dan Abah tahu sesulit apa hukuman yang Abah beri untuk mengujimu---menukar posisi beberapa kata, tak memberi harakat, nama surat dan nomor Juz ke ayat tersebut---seolah Abah buta akan fakta bahwa kamu masih santri baru.
"Surat al-Hud menjelaskan tentang perintah untuk istiqomah dalam kebaikan. Mengutip tafsir Jalalain, dikatakan, 'maka tetaplah kamu pada jalan yang benar) yaitu mengamalkan perintah Rabb-mu dan menyembah kepada-Nya (sebagaimana diperintahkan kepadamu dan) juga tetaplah pada jalan yang benar (orang yang telah bertobat) yaitu orang yang telah beriman (beserta kamu dan janganlah kalian melampuai batas) melanggar batasan-batasan Allah. (Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan) oleh sebab itu Dia membalas kalian. Dan kamu sudah berhasil mempraktikkan istikomah itu sendiri secara langsung lewat tes yang Ustaz Bayu berikan." Kiai Usman membenarkan posisi duduk. "Gini, Ibrahim. Hijrah itu perkara mau dan tidak maunya seseorang. Karena hidayah itu dijemput, bukan ditunggu. Sementara istiqomah itu perkara mampu dan tidak mampu. Banyak sekali godaan di fase ini. Jika istiqomah didasari untuk selain Allah, maka fondasinya tak akan bisa bertahan lama. Sebab banyak sekali cara setan dalam menyesatkan. Salah satunya, Tazyin, atau kamuflase menghiasi perkara seolah baik. Setan tidak mengarahkan seseorang kepada dosa dan kejahatan, melainkan menghiasinya secara bertahap, misalnya seperti kasusmu—berbohong bertujuan baik, katanya.
"Jujur saja, Abah awalnya ragu kamu mampu menolak tawaran Ustaz Bayu. Namun ternyata, kamu lebih dari mampu. Abah benar-benar bangga atas keputusanmu untuk berkata jujur. Jadi, Ibrahim, dengan sepenuh hati, Abah ingin kamu tetap mondok di sini. Menjadi bagian dari keluarga besar pesantren Darul Anfal."
Ibam tak tahu harus bereaksi bagaimana. Yang dia lakukan sejak tadi hanya diam dan mendengarkan. Kadang melirik seragam---jas hitam berlogo pesantren Darul Anfal di dada kanan, sarung hijau yang khas di tumpukan bawah, beserta kopiah putih dengan pin seperti yang Aris, atau mungkin seluruh santri kenakan. Kadang melirik Hasan. Kadang juga menatap kiai Usman. Berusaha mencari tanda-tanda kebohongan.
Lalu, tiba-tiba saja Hasan melepaskan topi Ibam dan menggantinya menggunakan kopiah itu tanpa persetujuan. Merangkulkan tangan sambil mengumbar senyuman. Diikuti semua orang, termasuk Bayu yang kontan membuat Ibam mengerjap, tersadar, Ustaz Bayu senyum ke gue? Membuktikan bahwa apa yang sedang terjadi sekarang adalah sebuah kenyataan. Bukan khayalan Ibam, apalagi kebohongan. Barulah setelahnya perasaan bahagia membeludak dalam dada Ibam. Mengembang, mengisi setiap rongga dengan kehangatan, dan menciptakan desir haru hingga matanya perlahan berkaca-kaca bersama bibir yang melengkung sempurna.
"Selamat datang lagi ke Pesantren Darul Anfal, Ibrahim Aryaputra," kata Hasan, lirih. Merengkuh pundak Ibam kian rapat. "Tenang, saya akan bayar penjelasan ke kamu nanti."
Selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...