Sepeninggalan ke empat pengurus, Hasan meminta waktu untuk berbicara berdua bersama kiai Usman. Bukan sebagai anak dan ayah, melainkan santri pembimbing Ibam dan pengasuh pesantren Darul Anfal.
Hasan yang masih duduk di tempat tadi mengembuskan napas, menautkan jari di atas paha, mencoba merilekskan punggungnya yang menegang. Dia merasa bersalah, tentu saja. Bagaimana pun kejadian sore ini terjadi sebab kecerobohannya membiarkan Bayu mengajari Ibam tanpa pemberitahuan. Mungkin jika dirinya membicarakan terlebih dulu pada Ibam atau Bayu, kedua laki-laki itu tak akan terlibat kesalahpahaman dan berakhir baku hantam. Hasan tahu, kendati Bayu tak menyukai Ibam, sang teman tak mungkin ingkar pada tanggungjawabnya sebagai guru. Lalu untuk Ibam, Hasan juga tak bisa menyalahkan apalagi ikut memojokkan. Dia paham betul perasaan anak itu, dan melihat kesungguhannya untuk belajar benar-benar membuat Hasan rela pasang badan seperti sekarang. Hasan percaya jika setiap orang harus diberi kesempatan kedua.
"Mangga, Hasan. Rek ngomong naon?"
Hasan mengangguk sekali, membasahi bibir sebelum berujar, "mohon diringankan hukuman untuk Ibam, Abah. Hasan rasa tidak adil jika pesantren lepas tangan di saat dia sedang membutuhkan bimbingan."
Kiai Usman diam, menatap lama wajah sang putra. Beliau tersenyum. "Kenapa kamu meminta Abah? Kelak, kamu yang akan memimpin pesantren menggantikan Abah, Hasan. Kamu memiliki hak mutlak memberi keputusan. Sok, lakukan apa yang menurutmu benar."
"Tidak, Abah." Hasan tersenyum. "Hasan tidak mau para santri berpikir jika Hasan memprioritaskan Ibam lebih dari mereka. Hasan hanya ingin menjalankan tugas sebagai orang yang dipercaya mengarahkan Ibam."
"Kalau begitu, menurutmu apa yang harus Abah putuskan? Perbuatan Ibam sudah di luar batas wajar yang pesantren tetapkan."
Terdiam, Hasan mencoba mencari peluang. Kabar kebengalan Ibam agaknya sudah sampai di telinga Kiai Usman. Selain suka mengumpat kasar dan attitude yang kurang, Hasan diberitahu jika Ibam sudah menghina Bayu pada saat acara sosial. Hasan tak bisa menyangkal, mengingat Ibam juga tak segan mengatainya dengan sebutan tak pantas hampir setiap bertemu
Lalu di tengah hening, seseorang mengetuk pintu. Hasan sigap berdiri, menghentikan gerak Abah yang ingin bangkit dari sofa.
"Biar Hasan saja, Bah."
Kiai Usman mengangguk, membuat Hasan menggiring kaki sampai di depan pintu. Membukanya, menjawab salam Ulya.
"Iya, Ul. Ada apa?"
"Itu, Gus, ada tamu. Katanya pengen menghadap langsung sama pak Kiai."
"Tamu?" Hasan menautkan alis. "Siapa, Ul?"
"Ibu-ibu, Gus. Salah satu wali santri."
Abah menarik diri, menghampiri Hasan dan Ulya. Ulya langsung meraih tangan beliau, dicium takzim.
"Abah punya janji bertemu orang tua santri?" tanya Hasan.
"Seingat Abah nggak ada. Memang beliau bilang bagaimana, Ul?"
"Em ..." Ulya melipat bibir ke dalam, gugup. "Anu, Bah. Beliau mau nanya soal Ibrahim yang berkelahi dengan ustaz Bayu. Soalnya pas pulang anaknya nangis ketakutan dan nggak mau ngaji lagi."
Pelan, kiai Usman mengembuskan napas. Mengangguk. "Tolong bilangin, Abah akan menemui beliau sebentar lagi."
"Baik, Kiai. Assalamualaikum." Ulya pamit pergi sambil merendahkan badan. Salamnya dijawab lirih oleh Hasan dan kiai Usman.
Hasan mengekori kiai yang kembali ke sofa. Rasanya semakin sulit mempertahankan Ibam di pesantren.
"Setelah mendengar itu, kira-kira hukuman apa yang adil untuk Ibam, Hasan?"
•••
Ibam mondar-mandir gelisah di kamar. Desas desus tentang dirinya yang akan dikeluarkan sudah menyebar. Menjadi topik pembicaraan para santri bahkan di depan Ibam.
Kasar, Ibam membuang napas. Duduk di pinggir dipan, menyangga kepalanya yang menunduk dalam menggunakan dua tangan. Bisa dibayangkan bagaimana marahnya papa jika tahu soal ini. Belum lagi keluarga besar mama yang pasti mengoloknya habis-habisan. Menjadi cucu laki-laki pertama dan satu-satunya memang kerap kali dituntut untuk memenuhi ekspektasi mereka.
Lalu Aris memanggil Ibam dari luar, membuka pintu perlahan sembari menjembulkan wajah gamang. Ibam menegakan badan dan menoleh pandang.
"Bang Ibam ditunggu A Hasan di gerbang."
Mengeluarkan debas, Ibam berdiri. Keluar melewati Aris di ambang pintu tanpa permisi. Tatapan santri yang Ibam temui sepanjang jalan terasa menghakimi. Membuat Ibam mengepalkan tangan tetapi tak bisa berbuat apa pun selain diam. Dan benar, Hasan sudah berdiri di samping pos satpam sambil memusat pandang, air wajahnya yang ambigu sulit Ibam artikan. Antara marah, juga kasihan. Bahkan Hasan seolah bisu untuk sekadar mengisi lengang sepanjang langkah menuju kediaman kiai Usman. Membiarkan derik jangkrik mengambil alih percakapan.
Hasan masuk setelah menguluk salam. Pintunya yang terbuka lebar menandakan jika sang pemilik sedang menanti kedatangan Ibam. Ibam mengekori, duduk di samping Hasan. Jendela tanpa kaca di belakang punggung kiai Usman menunjukan pemandangan bukit di kejauhan yang nampak kelam, langit malam tanpa bulan, serta menggiring udara masuk yang mengusir hawa gerah sebelum hujan.
"Ibrahim." Kiai Usman memanggil penuh kelembutan, memaksa Ibam mengulum senyum meski hatinya bergelenyar. "Kamu tahu kenapa kamu dipanggil lagi ke sini?"
Ibam menganggukkan kepala.
"Kamu tahu jika perbuatanmu salah?"
"Tahu, Abah. Maaf."
"Seandainya kamu dikeluarkan, apa kamu tak keberatan?"
Menarik napas, Ibam berusaha meredam gejolak panas di dada. "Jujur, saya keberatan. Karena seperti yang Abah tahu, Bayu juga bersalah di sini."
"Jadi, Ibrahim ingin Bayu ikut dikeluarkan?"
"Bukan. Saya hanya ingin Abah pertimbangkan ulang keputusan Abah barusan."
"Memangnya Ibrahim serius masih ingin di pesantren?"
Ibam mengerjap, tak bisa langsung menjawab. Bebas dari peraturan memang hal yang Ibam inginkan, tetapi dengan cara dikeluarkan bukanlah pilihan benar. Tiba-tiba Hasan mengulurkan tangan, menepuk-nepuk dengkul Ibam. Ibam menoleh, merasa lega saat laki-laki itu menunjukan senyum seperti biasa. Lantas Ibam menganggukkan kepala. "Serius, Abah. Saya masih ingin nyantri."
"Walaupun kasurnya keras?"
"Iya, Abah."
"Walaupun makanannya tidak seenak masakan di rumah?"
Lagi, Ibam mengangguk.
"Baiklah. Tapi kamu harus berjanji satu hal."
"Janji apa, Abah?" Mata Ibam berbinar penuh harap
"Jangan mengulangi kejadian serupa, apa pun alasannya. Faham?"
"Faham."
"Dan kamu harus siap menerima hukuman sebagai ganti."
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Zenith (End)
SpiritualHarus masuk pesantren kalau mau dimaafkan! Ibam galau memikirkan syarat gila yang orangtuanya berikan. Dia yang biasa berantem dan berteriak di jalan, mana cocok memakai sarung dan peci? Belum lagi statusnya yang akan berubah menjadi santri. Parahny...