𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢

PROLOG

Taman Sari.

Surau kecil di pinggir pematang sawah.

Perlambang hilal di atas kubah empat tingkat yaitu, bulan sabit dan bintang, sudah tak terlihat putih mengkilap.

Halaman yang tadi terik kini terlihat teduh oleh awan yang menggumpal besar di sisi barat.

Di sisi kiri bangunan terlihat empat buah penyangga sebuah padasan dari tanah liat, berdiri di atas besi berkarat dan tak jauh dari pagar bilah bambu berujung runcing.

****

"Allahu akbar! Allahu akbar ...."

Kemudian semua akan berubah ramai saat bakda magrib menjelang. Seperti yang terjadi pada saat ini.

Kini tak hanya di dalam ruangan, di samping juga sudah terdengar gemercik air serta derit pompa, riuh dalam bahak kelakar.

"Ayo, cepat! Sebentar lagi akan masuk waktu salat!" Keras teriak satu bocah dengan sarung batik.

Bergegas mereka yang ada di bawah berebut menapak undakan untuk segera masuk.

"Allahu akbar! Allahu akbar! Lailah ha'illallah!"

Pengeras yang mengumandangkan panggilan bersujud baru saja terhenti.

Bergegas anak-anak yang bersarung dan berpeci segera membentuk baris, berdiri khusyuk dalam salat berjamaah.

Lima menit suasana lengang sejenak.

****

Setelahnya suasana kembali riuh degan kaki-kaki telanjang menuju rak kayu.

"Aku dulu! Aku dulu!" Suara gaduh saling rebut terdengar untuk lebih dulu.

Bruk!

Bruk!

Bruk!

Tiga meja berjajar setelah dua pasang kaki kecil terlihat menggotongnya.

"An, in, un." Terdengar suara kecil bocah berpeci di sudut lain.

"Alif fathkah 'a." Pada meja paling dekat dengan pintu.

"Aku dulu!"

"Aku dulu! Kemarin malam kamu setelahku. Aku tidak mau!"

Suara saling rebut untuk lebih dulu maju mengaji masih saja terdengar, membaur dengan tiga anak yang mengaji menghadap dua perempuan dan satu laki-laki bersarung.

"Aku tidak mau! Aku dulu!"

"Tidak bisa! Aku dulu!"

"Eh, tidak usah rebutan!" lerai lelaki bersarung tak jauh dari dua anak yang masih saja saling dorong.

****

padasan (Tempat untuk wudu dari gentong tanah liat).