LANGKAH AWAL

204 25 2
                                    

Taman Fajar.

Dua orang sudah berdiri di depan pintu menyambut kedatangan Inyik, yang tak lain Maksum dan istrinya.

Inyik menurunkan Katirah saat laju sepeda berhenti di halaman rumah.

"Assalamualaikum."

"Alaikum salam."

"Kamu? Bukankah kamu yang ...."

"Kalian pernah bertemu?" potong Maksum.

Katirah hanya tersipu. Tak disangka dia akan bertemu lagi dengan Sariah.

"Ya, Mbak," kata Katirah seraya sekali mengangguk.

"Aku sudah menduga. Sudah ayo, sini masuk!" ajak Sariah.

"Jatayu badannya semakin panas sejak pulang dari pasar dan kerap mengigau. Aku semakin khawatir." Sariah berdiri di samping Katirah, berdiri memandang Jatayu yang tertidur.

Wangsit beranjak saat Katirah melangkah mendekat disusul Inyik dari belakang.

Tak ada yang bersuara saat Katirah duduk di tepi balen. Membetulkan letak sarung yang menutupi badan lalu meletakkan tangan bolak-balik di kening Jatayu.

Katirah hanya bisa menarik napas panjang kemudian menoleh ke arah Inyik.

"Yo, iku. Tak roso, bocah iki ora iso adoh karo koe." (Ya, itu. Aku rasa, bocah itu tidak bisa jauh darimu). Inyik mengambil duduk di bangku kayu. Wajahnya masih terlihat masa bodoh, meski matanya mengisyaratkan rasa khawatir.

Katirah menatap Wangsit. Lelaki itu diam tak tahu harus berkata apa. Bak ayam sayur, dia hanya berdiri dengan membalas tatap Katirah.

"Mak."

Semua mata tertuju pada Jatayu yang menggeliat. Kelopak matanya perlahan terbuka.

"Iya, Le. Mamak di sini."

"Mamak, ke mana saja? Tayu kangen Mamak." Jatayu berusaha minta untuk bangkit.

"Badan Tayu masih panas. Kamu sebaiknya berbaring saja ya, Le."

"Tayu mau pulang ke rumah Mamak. Tayu juga kangen sama simbah."

Ada yang menggores hati Katirah ketika mendengarnya.

"Iyo, Le. Nek awakmu wes mari, ko oleh neng omahe mamak." (Iya, Le. Kalau badanmu sudah sembuh, nanti boleh ke rumah mamak). Justru Inyik yang menimpali.

"Tayu, tidur lagi, ya? Mamak akan ada di sisimu, Le, Tayu."

Jatayu kembali merebahkan tubuh. Dipeluk erat satu tangan Katirah seakan dia tak mau lagi kehilangan sosok ibu.

Semua bisa bernapas lega, termasuk Wangsit yang khawatir tak reda panas yang mendera anaknya.

****

Beberapa saat kemudian.

"Iki ngene, Rah." (Ini begini, Rah). Inyik memecah lengang yang terjadi beberapa saat karena tak mau mengganggu Jatayu.

Sariah tampak duduk di sisi Katirah.

"Ki wes tak putusne nek koe bakal tak rabekne karo Kang Wangsit." (Ini menjadi keputusanku kalau kamu akan saya nikahkan dengan Kang Wangsit).

"Namun, Kang ...."

"Iku mergo bocah iku. Mergo Jatayu." (Semua demi bocah itu. Demi Jatayu).

Sariah atau pun Maksum tak berani menyela. Mungkin pembicaraan ini lebih tepat masalah keluarga, khususnya bagi Inyik dan Katirah. Wangsit hanya duduk jegang seraya terus memenuhi ruangan dengan asap keretek.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang