BERTEMU KATIRAH

318 22 2
                                    

"Aku telah menyesal," ucap Wangsit kepada Maksum. Hadir Yulia dengan membawa dua gelas teh manis di atas nampan kecil.

"Yang lalu, biar berlalu, Kang. Manis, pahit, dalam kehidupan memang sudah disuguhkan oleh Allah."

"Meski kadang kita tahu dan terkadang justru salah dalam memilihnya," sambung Maksum.

Jatayu masih tak lepas dari pangkuan Wangsit.

"Soal Katirah yang kamu tanyakan ...." 

Sejenak Maksum menoleh ke arah Yulia yang duduk sedikit menjauh dengan tertunduk.

"Di mana Katirah sekarang?" tanya Wangsit.

"Aku ingin sekali meminta maaf kepadanya atas semua yang telah terjadi. Aku berjanji untuk tidak lagi berjudi. Judi hanya menghabiskan apa yang kupunya. Bukan hanya harta, bahkan keluarga. Aku menyesal sekarang."

"Tidak ada kata terlambat. Semua belum terlambat untuk menyadari semua kesalahanmu, Kang."

"Aku bukan mau menggurui Sampean. Lakon yang sudah, ya, sudah. Menatap hari dengan mencari sesuap nasi yang halal. Coba Sampean pikir Jatayu. Aku sendiri kasihan dengannya."

"Iya." Wangsit menunduk lalu mencium kepala Jatayu.

"Kapan aku bisa bertemu dengan Katirah. Aku tahu dia masih marah dengan apa yang telah kulakukan kepadanya."

Maksum kembali bungkam.

"Jatayu, sudah malam. Ayo, tidur sama Bu Lek Yulia!"

"Tidak. Tayu mau tidur dengan bapak, Bu Lek."

"Biarkan dia, Yul. Mungkin dia masih kangen dengan bapaknya. Kalau kamu sudah mengantuk, kami segera akan pamit. Kami bisa tidur di Surau untuk malam ini."

"Bukan maksud saya untuk ...."

"Kami tahu, Yul," sambar Maksum.

"Ayo, Kang! Kita lanjutkan di Surau saja. Sudah lama aku tak bertemu Sampean. Kangen juga aku untuk bercerita denganmu, Kang."

Wangsit bangkit dari balen dengan menggendong Jatayu.

"Yul, terima kasih banyak sebelumnya, ya."

Yulia tersenyum lalu mengangguk kepada Maksum.

****

Matahari sudah sejak tadi menyinari. 

Maksum berdiri di samping Yulia yang mendekap Jatayu. Mereka mengajak Wangsit untuk bertemu dengan Katirah.

Setelah menempuh perjalanan, tibalah mereka di sebuah lahan luas yang banyak ditumbuhi bunga kemboja.

"Kok neng kuburan?" (Kok di kuburan?). Wangsit masih terlihat bingung saat Maksum tadi berjanji akan mempertemukannya dengan Katirah.

"Katamu ingin bertemu Katirah." Maksum menoleh ke arah Wangsit yang terlihat bingung.

"Iya, tetapi ini ...."

"Katirah sudah tenang dalam pembaringannya, Kang." Yulia mempertegas keadaan.

"Mak ... maksudmu? Katirah wes ...." (Mak ... maksudmu? Katirah sudah ....).

Yulia mengangguk pelan.

"Kanker telah membuatnya berpulang lebih dulu menghadap Allah. Dia telah meninggalkan kita semua."

"Selama ini Katirah mengidap kanker otak yang tak pernah dia rasa. Sel kanker sudah menyebar ke seluruh tubuh melalui getah bening dan Katirah tak sanggup lagi untuk bertahan. Dokter sudah menjelaskannya. Kami semua belajar untuk ikhlas melepasnya, Kang," imbuh Yulia.

Lemas seketika lutut Wangsit saat melangkah menuju tanah gundukan dengan kembang yang terlihat sudah kering.

"Katirah, maafkan aku. Hu hu hu."

"Bahkan untuk meminta maaf secara langsung kepadamu saja aku tak kau beri kesempatan, Rah. Hu hu hu." Luruh tubuh Wangsit dengan berpegangan pada nisan bertuliskan 'Katirah Kusumayati Ayu binti Ahmad Buwono, 30 Ruwah, Selasa Paing'.

"Tak ada lagi yang perlu Sampean sesali, Kang. Semua sudah kehendak-Nya. Kita bisa berbuat apa? Hanya mendoakannya semoga Katirah tenang di sana, langgeng dalam alam damai."

"Aku yang salah! Aku! Hu hu hu."

"Dia yatim piatu dan aku telah menyia-nyiakan. Hu hu hu."

"Penyesalan tak akan berkesudahan, Kang Wangsit. Meratap dalam kesalahan juga tak baik. Semoga yang telah terjadi akan menjadi pembelajaran bagi kita semua ke depan untuk lebih menyayangi keluarga." Maksum lalu meraih bahu Wangsit.

Wangsit bangkit. Segera dia memeluk Maksum.

"Hu hu hu."

"Sudah, sudah, Kang."

"Aku hanya ingin menyampaikan permintaan maaf kepadanya dan semua sudah terlambat, Sum."

"Tidak ada kata terlambat. Percayalah, Katirah adalah perempuan yang baik. Aku rasa dia sudah memaafkan Sampean." Maksum hanya bisa mengelus punggung Wangsit.

"Aku akan selalu menjaga namanya di hati ini." Wangsit melepas pelukan Maksum.

"Ada yang masih perlu Sampean jaga." Maksum menoleh ke arah Jatayu.

"Jatayu. Dia yang masih tersisa, Kang."

Wangsit mengangguk.

"Ayo!"

Maksum menggandeng tangan Wangsit yang masih gontai. Mereka melangkah meninggalkan nisan Katirah untuk menuju gerbang gapura pekuburan.

****

Tak ada segumpal mega di langit. 

Kompleks pekuburan begitu lengang.

Angin berembus menerpa beberapa pohon kemboja dan menjatuhkan bunga putih di atas kuburan Katirah. Wanginya harum terasa.

****

'Kan kujelang.

Pasti kujelang.

Esok malam di cahaya bintang.

'Kan kubawa bingkisan asmara.

Tumpuan hati berdua.

****

Dendam rindu. 

Kasih di kalbu.

Kucurahkan dalam ini lagu.

'Kan kudendangkan. 

Bagi dikau, Tuan.

Di esok malam cemerlang.

****

Usah cemas gelisah.

Tak ke mana beta pergi.

Tiada nanti aku dusta.

Kau jua pautan hati.

****

Esok malam aku 'kan datang.

Di tempat kita memadu cinta.

Di angin lalu.

Kusampaikan pesan.

Esok malam kau kujelang.

SEKIAN 

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang