LEMBAR BARU

205 22 2
                                    

Di suatu tempat yang berbeda kabupaten mereka memulai hidup dengan usaha baru.

****

Empat sepeda dengan karung besar berhenti di halaman rumah papan sederhana. 

Tampak beberapa orang berdiri menerima uang dari kayu yang disusun dalam uruk tanah.

"Kang, taruh mana!" teriak lelaki yang pipinya hitam oleh benda yang ada di dalam karung.

"Kono ae!" (Di situ saja!), balas Wangsit yang mengenakan udeng, kaus oblong putih, serta kolor panjang berwarna hitam.

"Terima kasih ya, Kang," ucap lelaki kurus tak berbaju di hadapan Wangsit setelah menghitung uang di tangannya.

Dua sepeda yang sebelumnya datang terlebih dulu, bergerak meninggalkan halaman yang penuh dengan karung tersusun, terisi sesak oleh isinya.

"Gur patang karung ta?" (Hanya empat karung?), tanya Wangsit berdiri dengan tangan bak terikat ke belakang.

"Belum selesai, Kang!" Lelaki yang juga menggunakan udeng meletakkan karung dengan salur biru. Menumpuknya di antara tumpukan setinggi tubuhnya yang jangkung.

Tiga lelaki lain juga berjalan memikul karung.

"Belum naik apa harganya, Kang?"

"Gung. Ndelok ngko. Nek okeh penjalukan, iso dadi regone mundak." (Belum. Lihat nanti. Kalau banyak permintaan, bisa jadi harganya naik). Wangsit lalu duduk di kursi dengan sebuah meja kayu kecil, tepat di bawah batang mangga seruit.

"Penak yo dadi wong sugeh," (Enak ya jadi orang kaya), seloroh satu lelaki lalu mengambil cerek blirik yang sengaja Wangsit siapkan bagi mereka yang datang untuk menjual arang.

"Penak opo? Podo ae, Man," (Enak apanya? Sama saja, Man), jawab Wangsit

"Mau dibawa ke mana arang-arang ini?"

"Jakarta," jawab Wangsit seraya menghitung uang di tangan, mengambil beberapa lembar untuk harga empat karung yang mereka bawa.

"Ya, sudah, Kang. Kalau begitu kami terus dulu. Sisanya mungkin besok."

Wangsit menjawabnya dengan mengangguk seraya memasukkan sisa uangnya ke saku kolor.

Hari semakin sore. Pergantian waktu segera dimulai. Wangsit melangkah menuju rumah.

****

Di sudut kampung, di mana banyak kayu menjulang. 

Lembar baru bagi Wangsit untuk memulai usahanya dengan menjadi penampung arang dari para warga yang lebih dulu menetap di sini dengan modal yang  dia bawa dari Taman Sari.

Ini adalah kampung pemekaran yang masih banyak berdiri berbagai jenis kayu. Pendatang atau warga yang lebih dulu menetap memanfaatkan batang-batang kayu setelah menebangnya, sebelum akhirnya sisa ranting dibakar hingga siap olah menjadi ladang, bukan pula kampung terpencil.

Katirah setuju pindah ke sini, terlebih sudah ada Musala dan tidak begitu jauh jaraknya.

****

Lampu gantung menerangi ruangan yang masih berlantai tanah. 

Badan Wangsit masih menyisakan butir air. Dengan bebat handuk dia masuk ke kamar.

Jatayu terlihat menolehnya dengan terus bersedekap mengikuti gerakan Katirah yang berdiri mengenakan mukena. Ketika Katirah ruku, Jatayu pun menirukannya.

Wangsit hanya tersenyum melihat tingkah Jatayu yang masih menoleh ke arahnya dengan bersujud. Disambarnya kaus singlet berwarna putih yang tergantung di ujung paku lalu mengalungkan sarung seraya melepas handuk dalam kungkung lingkar sarung.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang