PEMATANG SAWAH

405 36 2
                                    

Hari yang diminta Gibran.

Angin sore memainkan kerudung yang dikenakan Katirah. Matanya menatap lurus ke pematang sawah yang menyisakan damen mengering. Masa panen telah usai bertepatan dengan pergantian musim.

"Akan selalu begitu perasaan ini. Meski tak lagi hijau, hamparan itu akan selalu indah di mataku. Terlebih ada kamu di sisiku," kata Gibran yang berdiri di belakang Katirah.

Katirah menunduk, wajahnya tersipu. Ada kebahagiaan yang ia rasakan, tetapi sengaja dia sembunyikan.

"Ada yang tak tampak dan itu akan membuat kita selalu menjaga jarak seperti ini," sambung Gibran.

Katirah melangkah sedikit menjauh lalu duduk menyejajarkan kaki di tanah yang ditumbuhi rumput.

"Aku sudah membicarakan ini jauh-jauh hari dengan orang tuaku." Gibran pun duduk di tanah berundak, terhalang setengah tombak di atas Katirah yang terus tertunduk.

"Rencananya aku akan membawa orang tuaku ke rumahmu ahad ini." Gibran memandang Katirah. Kerudung itu masih bergerak-gerak menyembunyikan ekspresi wajah perempuan yang dia cintai.

"Empat tahun cukup bagi kita saling mengenal."

"Apakah kamu mau menerima pinanganku? Aku ingin yang akan kita lalui kelak menjadi ladang ibadah."

"Apa Mas, sudah memikirkannya? Aku hanya perempuan biasa, Mas," balas Katirah. Suaranya nyaris samar oleh desau angin.

"Di mataku, kamu perempuan luar biasa," ucap Gibran seraya beranjak lalu berdiri di sisi Katirah.

Gibran mengulurkan tangan dan Katirah menyambutnya.

Katirah melangkah pelan mengikuti Gibran, berjalan menyusuri tanggul kecil pembatas antar petak sawah.

"Mas!" teriak Katirah sedikit kesusahan meniti.

Gibran turun dari galangan sawah lalu meraih tangan Katirah yang terbuka menjaga keseimbangan, menggenggam, lalu menuntunnya meniti.

"Aku ingin mengucapkan ijab kabul di Surau ini," kata Gibran.

Katirah hanya bisa menahan rasa bahagia, tipis samar dalam sungging senyum. Perlahan dia melepas genggaman Gibran. Berlari kecil dengan sedikit menjaga keseimbangan, Gibran mengejarnya.

"Aku baru saja membeli tanah Pak Sumadi. Kelak akan kita bangun keluarga kecil di atasnya, Rah."

Katirah menghentikan larinya. Tak bisa lagi dia sembunyikan rasa bahagia mendengar itu.

Gibran sosok lelaki yang dia idamkan, sosok yang bisa membimbingnya mengarungi bahtera rumah tangga, yang akan selalu menuntunnya, yang menyejukkan hatinya, yang menjadi Imam dalam salatnya, dan semua impian itu akan segera terlaksana.

Banyak sebenarnya lelaki mapan dan mereka sudah menyatakan isi hatinya di hadapan Katirah. Halus Katirah menolaknya, hingga datang Gibran empat tahun lalu setelah pulang dari pondok pesantren.

"Katakan sesuatu biar aku juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan, Rah," ucap Gibran tersenyum seraya menikmati ayu wajah Katirah yang tak lepas berkerudung.

"Aku malu mengatakannya, Mas."

"Ha ha ha. Cukup, cukup. Itu sudah cukup bagiku."

"Cukup? Aku belum mengatakannya, Mas."

"Untuk apa kamu mengatakannya? Senyummu, tatap matamu, semua sudah menyampaikan kepadaku. Ha ha ha."

Tersipu Katirah dibuatnya.

"Sungguh diriku tak kuasa menahan gejolak di hati ini. Aku pun sama, Mas. Aku sangat mencintaimu. Bibirku tak mampu berkata ...."

Ucapannya terhenti saat tangannya digenggam kembali oleh Gibran.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang