BELUM KEMBALI SENYUM ITU

202 22 6
                                    

Tiga lembar daun dadap tergeletak di atas piring seng. Dengan empat kali pelintir dari adu usap kedua telapak, Katirah kembali meletakkan daun itu di kening Jatayu.

"Apa tidak dibelikan obat saja loh, Nduk."

"Sudah mendingan ini, Mbok. Sudah turun panasnya."

"Ndelok bocah iku teratap atiku. Nelongso," (Melihat bocah itu tersentak hatiku. Kasihan), ucap Mbah Dilah dengan duduk di sisi Katirah.

"Iya, Mbok. Tirah sendiri juga tidak tega."

"Wes mbok dulang?" (Sudah kamu suap?).

Tatapan Katirah tertuju ke arah piring. Nasi dan dadar telur kampung yang dia ambil dari petarangan itu masih utuh.

"Pengharapan mbokmu, bapaknya datang dan biarkan Jatayu pulang. Simbok khawatir kalau seperti ini. La, ya untung panasnya turun. Simbok tidak membayangkan kalau itu terjadi seperti kakangmu dulu."

"Selawe hari setelah bapakmu mangkat. Inyik badannya panas. Simbok panik kala itu. Tubuh kakangmu kejang-kejang. Matanya mendelik, tangannya mengepal, belum pernah mbokmu merasakan takut. Sampai mbokmu ini tak tahu harus berbuat apa."

"Beruntung Yuk Imah datang menolong dan membawa kakangmu ke Pak Mantri." Mbah Dilah menatap Jatayu yang masih tertidur.

"Waktu seumur Jatayu, Kakangmu termasuk anak yang tidak bisa diam. Ibu menyesal telah memukulnya saat dia memecahkan gentong. Basah lantai dapur saat itu. Kakangmu mengambek. Kayu yang dia pukulkan ke gentong adalah gambaran bahwa wataknya keras, Nduk. Semua kemauannya harus simbok turuti."

"Sejak saat itu simbok tak pernah membentak, apalagi menjewer kuping kakangmu. Hanya saja ...." Mbah Dilah mengusap sudut mata.

"Ati simbok iki loro nek disentak anak." (Hati ibumu ini sakit kalau dibentak anak). Kini Mbah Dilah mengusap matanya dengan ujung jarit.

"Simbok berusaha sabar, sabar menghadapi sikap Inyik. Bagaimana pun, dia anak simbok. Sama seperti kamu, Nduk."

"Jujur, Nduk. Jatayu ada di rumah ini simbok tidak keberatan. Simbok senang malah. Simbok merasa sudah punya putu dari kamu, Nduk." Kembali ujung jarit itu diusapkan ke matanya.

Katirah hanya bisa mengelus punggung ibunya. Nyaris tumpah juga air mata yang dia tahan setelah mendengar penuturan ibunya perihal anak Inyik.

"Terpikir oleh simbok. Apa benar yang dikatakan Inyik kalau memang Jatayu adalah anak temannya. Kalau memang tidak terurus, simbok akan memintanya. Biar simbok anggap cucu, itu kalau kamu tidak keberatan, Nduk."

"Kamu lihat sendiri toh bagaimana Jatayu begitu dekat denganmu. Anak seumur itu masih keibu-ibuan. Yang dia tahu dunia ini hanya ada embok. Sama seperti kamu saat seumur dia, tidak bisa jauh dari simbok."

"Ya, apa mungkin toh, Mbok. Mana mungkin orang tuanya akan menyerahkan Jatayu untuk tinggal di sini bersama kita."

"Simbok sendiri tidak yakin, tetapi kalau melihat nasib Jatayu simbok kasihan, Nduk. Bisa jadi, besok-besok dia akan dititipkan ke kawan-kawan kakangmu yang lain."

"Namun, Mbok. Ti ...."

"Simbok tahu, Nduk. Biar Jatayu sama simbok di sini bila kamu ...."

Katirah meraih tangan keriput ibunya.

"Bukan itu masalahnya, Mbok?"

Mbah Dilah membalas genggaman anaknya.

"Jangan sampai kehadiran Jatayu menghalangi niat Gibran untuk menikahimu, Nduk."

"Simbok berharap Jatayu kembali ke orang tuanya. Andai hanya dititip-titipkan, ikhlas simbok merawatnya."

****

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang