RENCANA INYIK

221 23 2
                                    

"Jadi, begini loh, Mbok. Kang Wangsit ini datang untuk menjenguk anaknya. La yang kedua ...."

Inyik sejenak melirik pintu tengah lalu pindah duduk di samping Mbah Dilah.

"Aku itu punya rencana mau menikahkan Katirah dengan bapaknya Jatayu," bisik Inyik ke telinga Mbah Dilah.

Hanya menatap mata anaknya, itu jawaban Mbah Dilah menanggapi apa yang ia dengar.

"Bagaimana, Mbok?" tanya Inyik dengan senyum bangga.

Mbah Dilah malah menatap Wangsit sejenak. Entah apa yang dia cari di wajah dengan dua kerutan di dahi itu.

Sejenak Mbah Dilah menahan rasa gembiranya. Selangkah dia lebih dekat dengan keinginannya untuk mengasuh Jatayu.

"Mekaten, Kang. Kulo lan yugo kulo kang setri niku sejatosipun sampun remen kaleh yugonipun Panjenengan." (Begini, Kang. Saya dan anak saya yang perempuan itu sejatinya sudah suka dengan anak Anda).

"Jatayu? Nek ...." (Jatayu? Kalau ....)

"Halah! Simbok, 'kan bisa merayu Tirah. Untuk apa dia menikah dengan Gibran, he? Untuk apa!" Inyik memotong ucapan Wangsit untuk kembali meyakinkan ibunya.

"Kang Wangsit ini duitnya banyak loh, Mbok. Orangnya juga gampang berderma." Inyik membanggakan Wangsit.

"Simbok tidak tahu. Simbok ini tidak bisa jawab untuk masalah itu. Sebaiknya kamu bicara sendiri dengan Tirah."

"Mbok, Kang Wangsit ini pernah hidup mapan. Kalau untuk beli sawah dan rumah, itu sepele baginya. Iya, 'kan, Kang. Iya, toh?"

Wangsit hanya tersenyum bersamaan dengan Jatayu yang keluar dari kamar Katirah.

"Sudah mangan, Le?"

Jatayu lalu memeluk pinggang Wangsit, menyembunyikan wajah di pangkuan bapaknya.

"Lah! Ditakoni kok eg." (Loh! ditanya kok).

Jatayu mengangguk. "Sudah, Pak."

"Kang, aku tinggal dulu sebentar, ya." Inyik beranjak serta menarik tangan Mbah Dilah.

"Enek opo toh, Le." (Ada apa toh, Le). Mbah Dilah melangkah dengan tergopoh-gopoh saat Inyik menarik tangannya.

Kini hanya Wangsit sendiri di ruangan itu.

"Kate balek opo jek betah neng kene?" (Mau pulang apa masih betah di sini?). Wangsit mengelus rambut Jatayu.

"Kalau pulang? Mamak boleh ikut tidak, Pak."

"Ha ha ha," tawa Wangsit tanpa bisa menjawab pertanyaan anaknya.

****

Setelah Inyik membawa Mbah Dilah.

"Simbok, 'kan tahu kalau Tirah itu pasti manut apa yang Simbok katakan? Iya, toh?"

"Namun, Le ...."

"Wualah, Mbok!"

"Mbok, dengar ya, Mbok. Simbok itu sudah sepuh. Simbok apa tidak kasihan sama Tirah kalau menikah dengan Gibran? Gibran itu kerja apa, he? Simbok, tahu toh? Kerjanya hanya mengajar mengaji. Mau dikasih makan apa Tirah nanti, Mbok!"

"Ya, tetapi simbok tidak punya hak. Yang memutuskan itu adikmu, Nyik," balas Mbah Dilah.

"Belum lagi Jatayu. Bocah itu tidak punya ibu, Mbok. Kedekatannya dengan Tirah tak semudah itu kalau tidak ada kecocokan di antara keduanya. Simbok, paham toh opo seng tak bicarakan?" desak Inyik.

"Tresno iku ra biso dipekso, Le." (Cinta tak bisa dipaksakan, Le).

"Halah! Simbok, tahu apa tentang cinta. Kenyang makan cinta? Ini demi masa depan anak Simbok juga toh!" Inyik terus mempengaruhi Mbah Dilah atas kehendaknya.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang