BERBUAH DUKA

187 21 2
                                    

Empat gentong besar berisi air yang bercampur beberapa kembang terlihat di halaman rumah Katirah.

Tumpukan jarit tertata di atas satu bangku kayu panjang. Satu persatu orang datang.

Di sudut rumah, lelaki berpeci terus membentuk sekeping papan menjadi nisan dengan bagian atas menunjukkan jenis kelamin tanpa menghilangkan sisi atas, justru membuang sisi bawah menjadi mirip segi tiga.

"Yang sabar ya, Rah," ucap perempuan berkerudung lalu duduk melipat kaki di samping Katirah.

Jenazah Mbah Dilah membujur bersedekap di atas tikar  tertutup jarit. Sebuah lampu semprong kecil ada di atas tubuhnya yang diam tak bergerak.

Terlihat Gibran meletakkan bilah bambu kecil untuk mengukur panjang jenazah Mbah Dilah.

Srek.

Bunyi kafan yang sengaja dirobek pada tepi sisi, untuk mencukupkan jumlah tali pengikat jenazah.

"Ada pihak keluarga yang masih ditunggu?" tanya lelaki yang ada di sisi Gibran.

Katirah menggeleng.

"Kalau memang tidak ada, sebaiknya kita langsungkan saja untuk menguburkan jenazah," bisik lelaki itu kepada satu lelaki lain yang sibuk dengan lembar kafan, sementara di belakang, para perempuan yang datang membantu tampak sudah selesai dengan beberapa untai bunga yang dirangkai menggunakan bola dom-dom.

Kapas-kapas berbau wangi dari kapur barus yang digerus ada di atas dua nampan besar, kapas yang akan digunakan untuk diletakkan di setiap siku jenazah.

"Ibu-ibu, maaf. Siapa yang mau membantu memandikan jenazah?"

Dua perempuan beranjak. "Kulo nggeh mboten nopo-nopo. Lha mesakaken Katirah. Mboten gadah kadang." (Saya juga tidak apa-apa. La kasihan Katirah. Tidak punya saudara). Perempuan gemuk yang tadi duduk meronce untai bunga itu bersedia.

****

Duduk di samping Yulia, Katirah memangku Almarhumah Mbah Dilah. Seorang perempuan menyerahkan satu cepuk berisi air sabun.

Kucur air dari gayung yang terus menerus disiramkan membuat jarit pembungkus semakin memperjelas lekuk tubuh jenazah Mbah Dilah yang kurus.

"Kabeh diresiki. Dicewoki, Nduk," (Semua dibersihkan. Diceboki, Nduk), pinta seorang perempuan yang terus memegang jarit sebagai pelindung kegiatan memandikan mayat.

"Kok, ya kebangetan, Yuk."

"Mosok ibune sedo Inyik ora balek," (Masak ibunya meninggal Inyik tidak pulang), imbuh perempuan kurus berkerudung, berbisik kepada perempuan tua mengenakan kerpus.

"Malah krungu-krungu ki ,yo. Mbah Dilah sedo iku mergo anake lanang lo, Yen." (Malah dengar-dengar ini, ya. Mbah Dilah meninggal itu karena anak laki-lakinya loh, Yen.)

"Mosok to, Yuk." (Masak toh, Yuk).

"Iyo! Lha wong dino opo kae Mbah Dilah iku jek opek godong gedang seng kebone gandeng kebonku." (Iya. Hari apa itu Mbah Dilah masih cari daun pisang di kebun yang gandeng dengan kebunku.)

Bukan hanya dua perempuan yang bisik-bisik, kumpulan para lelaki yang datang melayat juga terlibat obrolan ihwal kematian Mbah Dilah yang dianggap mendadak.

"Nek jareku iku serangan jantung. La mosok to, ndadak men." (Kalau menurutku serangan jantung. La masak iya, mendadak benar).

"Ealah, Kang. Jenenge ae wong sepuh, yo wes bioso to nek macem-macem penyakite," (Edalah, Kang. Namanya juga orang tua. Ya, sudah biasa toh kalau macam-macam penyakitnya), timpal lelaki di sebelahnya yang mengenakan kemeja hitam.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang