TAMU ALLAH

195 23 1
                                    

"Ha ha ha. Namun, benar, Juragan. Istrinya masih mulus."

"Usahanya juga sudah mulai ramai," ujar lelaki berbadan besar.

"Aku juga tahu dari Laksa, temanku di Taman Sari. Dulu Kang Wangsit itu tukang judi. Siapa yang tak kenal dia? Semua lawan dia gulung semua." Wajahnya terlihat serius kali ini di hadapan lelaki berpakaian necis.

"Bisa-bisa usaha kita tersaingi, Juragan!" tambahnya lagi.

Lelaki berkulit hitam, hidung sebesar jambu bandar, hanya membalasnya dengan embusan napas panjang.

"Belum sebulan dia di sini, tetapi sebagian warga memilih menjual arang kepadanya."

"Cukup! Panas kupingku mendengarnya!" Lelaki berpakaian necis itu langsung melangkah menuju rumah.

"Sepertinya juragan kurang suka mendengarnya," ucap satu lelaki lain yang sedari tadi hanya duduk seraya memainkan asap dari mulutnya.

"Ya, aku harus menyampaikan hal sebenarnya kalau orang-orang lebih memilih menjual ke sana," balas lelaki perut buncit.

"Lagi pula, yang aku dengar kalau dia itu juga masih bersahabat dengan juragan kita. Dia ke sini juga atas permintaan juragan."

"Iya. Masalahnya lima hari saja, usaha juragan sudah mulai sepi." Lelaki yang duduk tadi.

****

Di halaman rumah Wangsit.

Sebuah mobil truk sudah siap berangkat. Bagian belakang tampak tertutup terpal dengan karung-karung berisi arang.

Mesin sudah menyala sejak tadi. Seorang sopir duduk di belakang kemudi untuk menunggu Wangsit.

"Nanti mau oleh-oleh apa, ha?"

"Tayu mau sepeda. Tayu belum pernah naik sepeda."

Wangsit hanya tersenyum di hadapan Jatayu dengan berjongkok lalu bangkit menatap wajah istrinya. "Awakmu njalok opo? Ko tak tukokno sekalian." (Kamu minta apa? Nanti aku belikan sekalian.)

"Aku tak meminta apa-apa. Aku hanya minta Sampean, kembali dengan selamat." Katirah dengan kedua tangan diletakkan di pundak Jatayu.

"Yo, wes. Tak mangkat sek." (Ya, sudah. Aku berangkat). Wangsit bergegas berangkat karena sudah sejak tadi sopir itu menunggu.

"Kang!" Katirah menghentikan langkahnya.

Katirah lalu meraih tangan Wangsit, menciumnya. Wangsit hanya tersenyum lalu melangkah pergi.

"Alaikum salam," ucap Katirah lirih meski Wangsit tak mengucap salam terlebih dahulu. Wangsit jelas bukan Gibran, Wangsit lelaki yang tak paham kaidah.

Jatayu melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak perlahan.

"Ayo, masuk, Le!"

"Bapak mau ke pasar ya, Mak?"

"Bapak lagi berusaha, ikhtiar sebagai seorang bapak, mencukupi semua kebutuhan kita, dan tugas kita hanya mendoakan semoga bapak kembali kelak tidak kurang suatu apa pun."

"Namun, bapak pulang, 'kan, Mak?"

"Ya, pulang toh, Le."

"Kapan?" tanya Jatayu polos.

"Ya, berangkat juga baru saja." Katirah lalu melangkah ke dapur, Jatayu mengekor di belakangnya.

"Kulonuwun!" (Permisi!).

Katirah menoleh ke arah pintu depan. "Siapa?" batinnya, sebab dia mulai hafal jam begini para penjual arang belum berdatangan, mereka akan datang kala separuh hari atau bahkan menjelang magrib.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang