GEGER DUKUH TAMAN FAJAR

301 30 0
                                    

Sejenak menjauh dari Taman Sari.

Suara gaduh dari rumah sederhana berdinding bata merah.

Prang!

"Negene kelakuanmu, ha! Tumpak-tumpakan naliko awakku megawe! Diancok!" (Begini kelakuanmu, ha! Saling tindih di saat aku bekerja! Bangsat!).

Prang!

Pecahan beling terserak. Dua gelas pecah tak berbentuk.

"Maafkan aku, Kang. Hu hu hu." Winarti dengan pupur tebal di wajahnya turun dari bangku lalu memeluk kaki suaminya yang bernama Wangsit.

Di sudut ruangan tampak Kaji tertunduk bertelanjang dada. Ada darah menetes dari sudut bibirnya.

"Awakku gak nyongko! Gak ngiro nek awakmu ndemeni bojoku, Kaji!" (Aku tidak menyangka! Tak kukira kalau kamu menyukai istriku, Kaji!).

"Tak tompo awakmu mergo awakku mesakno kambek awakmu! Ngene seng tak tompo! Iki balesanmu!" (Aku terima kamu karena aku kasihan denganmu! Begini yang aku terima! Ini balasannya!). Wangsit masih berdiri geram.

Kaji yang ada di sudut ruangan itu mengangkat wajah perlahan. Sebelah kanan pipinya lebam.

"Munio! Munio, Diancok!" (Bicara! Bicara, Bangsat!). Menggelegar amarah Wangsit.

Sejenak Wangsit menunduk. Ditatapnya Winarti yang menangis tersedu dengan terus memeluk erat kakinya.

"Gak iso ngene. Gak iso! Loro karo kudu matek neng tanganku! Kudu matek!" (Tidak bisa begini. Tidak bisa! Kalian berdua harus mati di tanganku! Harus mati!). Bergegas Wangsit melangkah, tetapi kembali tertahan oleh Winarti yang menahan kakinya.

"Ampun, Kang. Ampun." Suara Winarti bergetar campur tangis.

"Telong taon dewe omah-omah, awakmu wes wani ngelebokno lanangan liyo neng kamar! Awakku gak sanggup nompo kasunyatan iki, Narti!" (Tiga tahun kita berumah tangga. Kamu sudah berani memasukkan lelaki di kamar! Aku tidak sanggup menerima kenyataan ini, Narti!).

"Ngadek! Ngadeko! Gak kanggo luhmu! Atiku wes kadung loro. Catu atiku!" (Berdiri! Berdiri! Tidak guna air matamu! Hati ini terlanjur sakit. Luka hatiku!). Dengan paksa Wangsit menarik Winarti, menyeretnya untuk disandingkan dengan Kaji yang ada di sudut ruangan.

"Ampun, Kang. Ampun. Hu hu hu," rengek Winarti.

"Awakmu, Kaji. Teko ngaku dulur kambek awakku. Mangan, pangonan, penggawean, kabeh tak tanggung! Saiki sawangen! Nggetih atiku mergo kelakuanmu seng koyok asu!" (Kamu, Kaji. Datang mengaku saudara denganku. Makan, tempat tinggal, pekerjaan, semua aku yang tanggung! Sekarang lihat! Berdarah hati ini karena kelakuanmu yang seperti binatang!).

"Kenapa Kakang justru salahkan dia! Kakang, terlalu sibuk dengan urusan Kakang sendiri!" Justru Winarti yang berucap.

"O, wes wani mbatah saiki! Wes dicekoki opo awakmu, ha! Wes cukup lekmu nyenengno atiku, ha! Weroh awakmu senuk gak bakal tak rabi!" (O, sudah berani bantah sekarang! Sudah dicekoki apa kamu, ha! Merasa sudah cukup kamu menyenangkan hatiku, ha! Tahu kalau kamu perempuan nakal tidak bakal aku nikahi!).

"Aku duda, Kang. Sering kesepian. Aku khilaf, Kang," ucapnya Kaji mengakui dirinya bersalah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada.

"Bajingan! Awakmu njalok usaha, njalok modal, kiabeh tak turuti! Awakku urep ijen neng dunyo iki, tak angkat awakkmu dadi dulurku! Kurang cukup awakmu ngakahi kabeh! Bojoku yo mbok demeni ha!" (Bangat! Kamu minta usaha, minta modal, semua aku turuti! Kamu hidup sendiri, aku angkat menjadi saudara! Kurang cukup bagimu meraup semuanya! Istriku juga kamu sukai, ha!).

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang