PERTEMUAN

211 21 1
                                    

Tak ada arah yang pasti kini bagi Wangsit untuk menemukan Katirah. Terlintas untuk kembali saja ke Bumi Ayu. Berharap Katirah ada di sana, di salah satu rumah sahabatnya.

Itu akan dia lakukan besok setelah pagi menjelang. Sementara yang terjadi adalah dia meringkuk di atas deret kotak kayu milik salah satu pedagang Pasar Templek.

Bau menyeruak dari kubis yang membusuk dan dibiarkan tergeletak di dalam sebuah karung, bahkan itu tak mengganggunya.

Hanya berbantal lengan, Wangsit mencoba memejamkan mata, berharap malam akan segera berganti pagi, tetapi berkali-kali dia coba, berkali-kali dia gagal untuk merekatkan mata.

Angannya menerawang jauh ke masa lalu.

"Piye, Kang? Opo Sampean, wes ngecolno bojone Sampean dewe." (Bagaimana, Kang? Apa Anda, sudah melepas istri Anda sendiri).

"Wes, Pak. Isuk iki wes tak pegat bojoku!" (Sudah, Pak. Tadi pagi sudah saya ceraikan istriku!).

Perempuan yang duduk di hadapan lelaki tua berpeci putih itu tertunduk. Punggungnya tampak sedikit bergetar oleh isak kecil.

"Ningiso dirunding maneh to, Kang." (Namun, masih bisa dirunding lagi toh, Kang).

"Runding opone! Tidak gur pisan tak kiro awakmu numpaki bojoku! Njalok tak blekrek cangkemu, ha!" (Dirunding apanya! Tidak hanya sekali saya kira kamu menggagahi istriku! Minta saya robek mulutmu, ha!).

"Wes to, Kang. Seng sabar." (Sudah toh, Kang. Yang sabar).

"Mpun, Pak Modin. Mang lajengaken ijabenipun," (Sudah, Pak Penghulu. Silakan dilanjutkan saja nikahnya).

Juga kejadian yang memorak-porandakan rumah tangganya yang dibangun untuk kedua kali.

"Bayarono omahku." (Bayar rumahku).

"Ha ha ha. Wangsit, Wangsit. Harga rumah itu sudah jatuh. Mana mungkin aku menerima kuitansi ini dengan membeli harga yang tertera di dalamnya. Aku menjualnya murah kepada Sampean itu tak lebih hanya ingin membantu."

 "Piro ae tukuen wes. Pokok awan iki awakku iso main." (Berapa saja terserah. Intinya siang ini aku bisa main). Mengeluarkan kartu baru.

"Wes tak tekati." (Aku sudah bertekad).

"Bagaimana bila Sampean kalah?"

"Halah? Kanggoku sepele. Lungo ko kono, wes!" (Halah? Bagiku itu sepele. Pergi dari sana, sudah!). Dia membuka kedua tangan, pasrah.

Pak Porno masih berdiri tak bergerak. Mengamati wajah sahabatnya, sahabat yang dia kenal sewaktu dia masih sebagai wiraswasta. Di arena judi, mereka bertemu untuk pertama kali.

Pak Porno merogoh saku di balik jaket. Perlahan dia menariknya. Terlihat satu ikat uang yang diikat dengan karet gelang.

"Sudah kepalang tanggung. Berdoalah semoga Sampean masih bisa mempertahankan rumah bagi anak dan istrimu, Wangsit."

Juga petaka saat dia memutuskan untuk menjual Katirah.

"Aku butuh modal. Uangku sudah habis."

"Hem."

"Tak dol bojoku," (Aku jual istriku), bisiknya kepada Pak Porno saat itu.

"He he he." Pak Porno tergelak akhirnya dengan mata mendelik.

"Yakin, he? Ha ha ha," imbuhnya.

Wangsit tertunduk, tetapi ia harus mengembalikan tempat bernaung bagi anak dan istrinya. Dia harus kembali merebut kuitansi itu. Sayang, semua sudah buntu dan sosok Katirah yang dia ingat. Wangsit sepakat menjual Katirah dua kali lipat harga rumah dan niat itu bersambut.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang