KARENA KASIHAN

173 26 1
                                    

Wangsit terbangun dan mendapati Katirah berdiri membelakangi. Tak lama selanjutnya Jatayu datang dengan senyum lalu naik menghampirinya.

"Bapak." Jatayu lalu ikut merebahkan diri di samping Wangsit.

Dengan mata masih menyisakan kantuk, Wangsit mengelus rambut Jatayu lalu mengecupnya.

"Mamak yang menempelkan ini di wajah Bapak." Jatayu menunjuk plester dua buah, melekat tepat di atas pelipis.

"Ayo, Tayu! Jangan mengganggu bapakmu loh, ya?" Katirah berbalik setelah meletakkan segelas teh hangat.

Wangsit hanya menatap Katirah. Tak terlihat putih, tetapi perempuan ini memiliki paras yang cantik dengan kulit sawo matang, itu yang dilihatnya.

"Jam piro iki." (Pukul berapa sekarang). Wangsit berusaha beranjak, tetapi dia segera meringis kesakitan seraya membawa tatap ke mata kaki, nyeri itu berasal dari sana.

"Jam sebelas," balas Katirah berdiri. Dia tak mau menatap mata Wangsit yang keruh dan tajam dan lebih memilih menunduk.

"Kaki Sampean keseleo."

Wangsit menoleh kembali dan kaki yang awalnya hanya nyeri teramat itu kini bengkak. Dia sudah menduga jatuh karena jalanan licin, ditambah Inyik yang tak bisa menyeimbangkan laju sepeda, justru berusaha menahan dengan kaki. Alhasil keduanya terjatuh.

"Tumbukan beras sama kencur itu untuk membalur kaki Sampean." Katirah mencuri lirik tatkala Wangsit duduk di samping Jatayu. Dia mencoba meninggalkan kamar, kamar paling depan yang biasa Inyik tempati.

"Sek!" (Tunggu!), cegah Wangsit membuat Katirah berdiri di ambang pintu.

"Matur nuwun." (Terima kasih).

"Untuk apa?" tanya Katirah dingin.

"Matur nuwun wes gelem njogo Jatayu, anakku. Matur nuwun wes ngrepotno awakmu." (Terima kasih sudah menjaga Jatayu anakku. Terima kasih karena aku telah merepotkanmu).

Katirah hanya menarik sudut bibirnya, setipis itu senyum yang dia berikan. Bukan karena canggung, tetapi memang dia tak habis pikir dengan teman kakangnya satu ini.

Tanpa menjawab lagi, Katirah benar-benar berlalu meninggalkan kamar.

"Iso to njupuk wedange bapak, Le?" (Bisa, 'kan mengambilkan minuman bapak, Le?).

"Bisa." Jatayu segera menarik bokong untuk sampai ke tepi, lalu meraih satu cangkir sedang, polos berwarna cokelat muda.

"Ini, Pak." Jatayu menyerahkan cangkir. Helai daun dan tangkai masih mengambang dan tenggelam ke dasar cangkir sebagian. Aroma khas kesegaran menyeruak, mengusir jauh kantuk yang masih tersisa.

"Mamak itu yang buatnya, Pak," celetuk Jatayu.

"Hem." Suara berat Wangsit di antara hawa hangat yang terasa di tenggorokan.

"Wes mangan ta awakmu, Le?" (Sudah makan kamu, Le?).

Jatayu mengangguk. "Sudah. Mamak juga yang mengambilkan makan buat Tayu."

Wangsit terdiam lalu menatap senyum Jatayu. Dia bisa merasakan betapa anaknya sangat nyaman di rumah ini.

Wangsit membalasnya dengan senyum tersungging. Bulu kasar yang menghias bibir ikut tergerak naik.

"Bapak, mau makan? Biar Jatayu bilang sama mamak."

Antara kasihan dan geli hati Wangsit mendengarnya.

"Gak usah. Bapak jek wareg." (Tidak usah. Bapak masih kenyang). Wangsit lalu meraih baju yang ada di belakangnya.

"Le, Tayu!" teriak Katirah dari dapur.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang