SAH

227 23 0
                                    

"Awakmu iso nampik lan awakku kate ngaleh kambek Jatayu ko kene," (Kamu bisa menolak dan aku akan pergi dengan Jatayu dari sini), kata Wangsit ketika Jatayu dan Inyik belum bangun dari tidurnya.

Katirah hanya diam seraya terus menuangkan air ke dalam soblok tembaga. Pikirannya tertuju pada ucapan Inyik tadi malam.

"Haruskah aku menikah dengan bapaknya Jatayu, sementara hatiku masih terluka dengan pernikahan Yulia. Bagaimana mungkin aku menikah dengan lelaki yang tak pernah terlihat salat," gulat batinnya.

Katirah berjongkok memasukkan manggar yang membuat api keluar dari mulut tungku.

"Aku tidak mengusir Sampean," ucapnya singkat.

"Ndelok awakmu cedak kambek anakku, rosone awakku wes cocok kambek awakmu." (Melihat kamu dekat dengan anakku, rasanya aku sudah cocok denganmu). Wangsit mencoba memberanikan diri mengungkap isi hatinya dengan kenyataan yang ada.

"Awakku yo wes tuo, awakmu yo wes umur." (Aku sudah tua, kamu juga sudah cukup umur).

"Menikah bagiku mencari Ridho Allah. Aku belum siap dengan lelaki yang belum aku kenal." Katirah menurunkan periuk, memindahkan nasi setengah matang ke dalam kukusan anyam bambu lalu dia letakkan ke dalam mulut soblok.

"Awakmu pancen gak iso nompo awakku, ning tolong pikirno Jatayu seng gak iso adoh ko awakmu." (Kamu memang tidak bisa menerimaku, tetapi tolong pikirkan Jatayu yang tidak bisa jauh darimu).

"Jangan memaksa. Aku hanya kasihan kepadanya."

"Lha awakku tidak mekso, ning jal dewe pikir, Jatayu gak iso adoh kambek awakmu. Sakmono ugo kambek awakmu toh?" (Aku tidak memaksa, tetapi coba pikir sendiri, Jatayu tidak bisa jauh darimu. Sebaliknya juga dengan dirimu toh?), tuding Wangsit.

Katirah tak menjawab, lalu memadamkan nyala damar minyak dengan meniup.

Bush!

"Renconoku nek awakmu gelem, dewe ngaleh adoh soko neng kene. Awakku wes tuku pondok. Masio gak gede, dewe iso pindah rono. Awakmu iso usaha opo seng cocok kambek angenmu," (Rencananya kalau kamu mau, kita pergi jauh dari sini. Aku sudah beli sebuah rumah. Walau tak besar, kita bisa pindah ke sana. Kamu bisa usaha yang cocok dengan pemikiranmu), tambahnya dengan iming-iming atau memang sebuah rencana.

"Iku nek awakmu gelem. Nek ogak yo, gak mekso." (Itu kalau kamu mau. Kalau tidak ya,  tidak memaksa).

Katirah tak tahu harus berkata apa. Dia masih canggung, tetapi bila mengingat ucapan Inyik, malam ini mau tidak mau, siap atau tak siap, dia akan bersanding dengan Wangsit menghadap Pak Penghulu.

"Belum lama ini aku berkabung, juga tentang perasaan ini. Ditambah desakan Kang Inyik. Aku tak tahu, apakah aku akan menerimanya, membandingkan dirinya dengan Mas Gibran? Bagaimana bila nanti aku terjerembap ke dalam dosa, bagaimana bila aku dinafkahi dari uang haram."

"Bila aku bersikeras menolaknya, aku takut Kang Inyik semakin marah. Lalu bagaimana kedekatanku dengan Jatayu? Dia hadir menjadi pelipur lara. Rasanya aku tak sanggup bila dijauhkan darinya."

"Aku jatuh cinta sekali seumur hidup dan aku telah memilih Mas Gibran untuk pelabuhan perasaanku. Aku masih ragu menerima lelaki lain di hati ini."

"Bila aku menentangnya, bagaimana bila Kang Inyik murka? Bagaimana bila dia menjauhiku."

"Aku tak tahu harus memutuskan apa."

"Berdosakah bila aku menolaknya, menolak pilihan Kang Inyik?"

"Bagaimana bila aku menerimanya? Bisakah di sana ada pelabuhan hati, tempat bagiku untuk mencurahkan rasa?"

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang