MENYESAKKAN DADA

173 24 3
                                    

Wangsit menerima pemberian Jatayu, baju yang masih bau tali jemuran.

"Mamak yang menyuruh untuk memberikan baju ini kepada Bapak."

"Iyo, iyo? Omongno ternuwun, yo." (Iya, iya? Bilang terima kasih, ya). Dengan tersenyum, Jatayu membalasnya dengan mengambur memeluk.

"Dewe mlaku-mlaku neng latar. Gelem to?" (Kita jalan-jalan di halaman. Mau, 'kan?).

Jatayu mengangguk, tanda bahwa ia setuju.

****

Bunyi sesuatu yang dimasukkan ke dalam minyak panas terdengar bak hujan datang. Aroma khas menyebar menyeruak.

Wangsit melewati Inyik yang masih tertidur di bangku kayu ruangan depan. Dengkur terdengar, menandakan Inyik masih pulas dengan menekuk satu kaki.

Jatayu mengendap-endap menuju pohon kesumba keling yang mengeluarkan bunga bak rambutan ranum. Capung garong berwarna hijau kehitaman masih bertengger di dahan paling bawah.

Selangkah.

Jatayu kemudian berhenti.

Dua langkah.

Jatayu berhasil menangkap capung garong, segera dia memutus sayap beningnya.

"Pak!" teriak Jatayu memamerkan tangkapannya.

Wangsit hanya tersenyum lalu duduk di atas balen bambu kecil, tepat di bawah bunga jam lima sore.

Halaman yang tak begitu luas, tetapi tampak hijau oleh beberapa jenis bunga berbatang.

Sisi kanan deret mahoni bak penanda berbeda saat sebagian orang lebih memilih menanam randu di ujung halaman.

Bimbang bagi Wangsit untuk mengajak Jatayu. Bahkan dia sendiri tak tahu harus pulang ke mana.

Membawa Jatayu ke rumah sahabatnya, Maksum. Dia takut Jatayu kembali panas. Sempat dia panik saat melihat Jatayu mimisan kala itu. Membawa serta malam hari untuk tidur meringkuk saat dirinya main kartu, jelas kasihan.

Satu harapan yang mungkin ada adalah berpegang apa yang Inyik ucapkan. Bukan karena cinta, tetapi Wangsit lebih memikirkan Jatayu.

Matahari hangat sudah sedari tadi menyapa.

Tatapan Wangsit tak lepas dari Jatayu yang asyik memainkan capung garong dengan melemparnya ke atas.

"Bapak!" panggil Jatayu kembali melempar capung ke udara.

Semakin kasihan Wangsit melihat Jatayu. "Opo iyo awakmu tuwuh gede ngeneki, Le?" (Apa iya kamu tumbuh besar seperti ini, Le?).

Seorang perempuan tua datang dari ujung jalan sebelah kiri. Rambut digelung, mengenakan lurik serta bawahan jarit.

"Dik Tirah onten?" (Dik Tirah ada?), sapanya ketika dua langkah ada di samping Wangsit.

"Wonten. Mang mlebet mawon," (Ada. Silakan masuk saja), jawab Wangsit.

"Ngapunten, nggeh." (Maaf, ya).

"Nggeh, Mbok. Monggo, monggo." (Ya, Bu. Silakan, silakan).

Langit membiru, mega tersaput berarak meski sinar sang surya masih kemerahan. Wangsit yang duduk mengenakan kaus kutang, merasakan hangat menjadi berlebih.

"Pak?"

"Hem. Opo?" (Hem. Apa?).

"Kemarin Jatayu ikut mencari daun pisang."

"La, terus?" tanya Wangsit menunduk menatap Jatayu yang mendongak.

"Jatayu melihat banyak tanah gundukan. Mamak bilang kalau Simbah sudah tenang. Simbah tidur di dalamnya."

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang