PENCARI DAUN

311 32 3
                                    

"Wes paling, Nduk." (Sudah mungkin, Nduk).

"Ya, Mbok. Ini tanggung," jawab Katirah. Pisau bagong itu terus membelah daun pisang, memisahkannya dari tulang daun.

"Simbok, istirahat saja."

"Mbokmu nek ngaso, yo ra rampung njagakne koe, Nduk," (Ibumu kalau istirahat, ya tidak selesai mengharapkanmu, Nduk), jawab Mbah Dilah seraya terus melipat lembar demi lembar daun pisang kemudian memasukkannya ke dalam tenggok bambu.

"Nanti kamu antar ya, Nduk. Ke rumahnya Bu Bariah."

"Ya, Mbok."

Selesai dengan pisau bagong, Katirah pun melakukan hal sama, mengumpulkan dan melipat lembar daun pisang yang akan dijual ke rumah Bu Bariah.

Semua sangat sederhana, bahkan mereka berdua sudah terbiasa bekerja mencari upahan apa saja yang penting menghasilkan uang.

Mengharapkan Inyik anak lelaki satu-satunya, nyaris tak mungkin. Inyik bekerja juga serabutan, terlebih hasil yang dia dapat juga habis dia tumpuk sebagai uang taruhan.

"Apa kakangmu pulang tadi pagi?"

"Tidak, Mbok. Kayak tidak tahu Kang Inyik saja. Bisa seminggu dia tidak pulang."

"Apa kamu tidak punya teman perempuan yang bisa menjadi istri Inyik? Siapa tahu setelah menikah dia akan berubah, Nduk."

"Mana ada perempuan yang mau toh, Mbok."

"Jangan bilang begitu toh, Nduk. Bagaimanapun, dia kakangmu," ucap Mbah Dilah melirik Katirah.

"Entah, Mbok," balas Katirah singkat. Dia tak mau membahas Inyik yang memang gemar berjudi, tidur seharian, bahkan tak mandi kalau sudah kalah.

"Sudah, ayo! Sudah sore," ajak Mbah Dilah beranjak.

Katirah yang berjongkok dengan tumpuan kedua lutut ikut beranjak. Meraih dua buah jantung pisang kepok bekal baginya membuat sayur malam ini.

Dengan bantuan ibunya Katirah membetulkan letak tenggok di punggung, mengikat erat dua simpul ujung jarit gendong di dada.

Puncak dari Sang Bayu berembus sudah terlewati. Hanya sepoi-sepoi angin terasa saat Katirah keluar dari rimbun batang pisang yang tumbuh berumpun rapat, kebun pisang peninggalan mendiang bapaknya.

Menjadi anak yatim sejak umur enam bulan menjadikan Katirah hidup tak manja. Bangku sekolah rela dia tinggalkan demi membantu ibunya, janda tua yang sering mengumpulkan lembar daun pisang untuk ditukar barang satu atau dua canting beras.

Kebun pisang bukan satu-satunya peninggalan mendiang bapaknya. Masih ada sepetak sawah dan dua ekor sapi, tetapi itu sudah lenyap, Inyik menggiringnya ke pembeli. Ulah Inyik yang menggadai sawah juga tak tertebus. Kini tinggal menyisakan ladang yang dibiarkan bongkor  dan juga sepetak kebun pisang.

"Jenate bapakmu tau ngomong nek kebon iki ndekmu, Nduk. Ladang seng neng kulon kono ben nggo kakangmu." (Mendiang bapakmu pernah bicara kalau kebun ini milikmu, Nduk. Ladang yang di barat sana biar untuk kakakmu).

"Tirah tidak pernah berharap apa-apa, Mbok. Simbok selalu diberikan kesehatan saja sudah cukup bagi Katirah," balas Katirah. Dia berjalan dengan sedikit tertunduk oleh beban di punggungnya.

"Njajal kelakuane kakangmu kae ora koyok ngono." (Andai kelakuan kakakmu tidak begitu).

"Sampun toh, Mbok? Tidak usah nggresulo ngoten." (Sudah toh, Mbok? Tidak usah menggerutu begitu).

"Yang sudah, ya sudah. Untuk apa dibicarakan lagi."

Mbah Dilah terdiam dan terus berjalan di belakang Katirah.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang