PENCARIAN

177 20 0
                                    

Wangsit sudah sampai di sebuah halaman kosong. 

Tidak ada rumah, tidak ada  juga empat batang mahoni yang dulu menghias pinggir halaman. Kini hanya belukar.

Wangsit hanya bisa menghembuskan napas panjang. "Opo iyo Katirah mbalek mrene?" (Mana mungkin Katirah kembali ke sini?).

"Hak! Hak!" Teriak satu lelaki yang menggiring dua sapi.

"Hak! Hus!"

"Maaf, mau tumpang tanya? Rumah ...."

"Rumah Mbah Dilah?" ucap lelaki mengenakan capil bambu.

"Kok wes bongkor, nggeh?" (Kok sudah belukar, ya?). Wangsit bertanya dengan wajah bingung.

"Wah, kurang paham juga. Coba Sampean, tanya dengan orang yang ada di rumah itu." Lelaki itu menunjuk sebuah rumah geribik yang ada di kanan jalan.

"Saya permisi," imbuhnya.

"Hak!" Sapi bergerak seiring lelaki itu melangkah meninggalkan Wangsit yang masih terpaku menatap belukar.

"Neng endi awakmu, Rah, Le." (Ke mana kamu, Rah, Le).

Wangsit membuang tatap ke arah rumah yang dimaksud lelaki tadi. Seorang lelaki terlihat duduk di balen bambu kecil.

Terlintas untuk bertanya saja, sebab ada benarnya, mungkin dia tahu kenapa rumah itu sudah tak lagi berdiri, rumah di mana dia pernah melangsungkan akad waktu itu  dengan Katirah.

****

"Kulonuwun?" (Permisi?).

"Monggo, monggo," (Silakan, silakan), balas lelaki yang duduk tanpa baju.

"Nderek tanglek. Griyo kang teng ngajeng niku kok sampun mboten enten, nggeh?" (Tumpang tanya. Rumah yang di depan itu kok sudah tidak ada, ya?). 

Lelaki itu bergeser, memberi tempat bagi Wangsit.

"Madosi sinten?" (Cari siapa?). Balik bertanya.

"Mau cari siapa?" ulangnya.

"Inyik," kata Wangsit.

Ya, Inyik. Mungkin dengan menemuinya, Wangsit tahu keberadaan Katirah serta Jatayu.

Lelaki itu mengerutkan dahi. "Inyik?"

Wangsit mengangguk, menunggu beberapa detik untuk keterangan yang mungkin akan dia dengar, dengan begitu, mudah baginya menemui Katirah.

Lelaki itu mengusap setengah wajah, berhenti di janggutnya, mencoba mengingat apa yang pernah terjadi.

"Siapa Sampean?"

Eh, aku ... aku saudaranya. Eh, iya saudara," jawab Wangsit.

"Silakan." Lelaki itu mempersilakan Wangsit duduk.

"Maturnuwun." (Terima kasih).

"Apa sudah dijual pekarangan itu? Lalu kenapa rumah yang ada di atasnya juga sudah tak ada?" Wangsit mengajukan pertanyaan, sebuah pertanyaan yang tersimpan sejak dia berdiri di ujung halaman.

"Pekarangan itu tak dijual." Lelaki itu mendengus.

"Siapa yang tak kenal Inyik, ha? Bujang lapuk yang doyan main."

Wangsit sedikit tersudut mendengar kata doyan main. Ya, dia bahkan lebih mengenal Inyik dari lelaki di sisinya.

"Inyik sudah mati!"

"Mati! Mergo nopo niku?" (Mati! Karena apa?).

Lelaki itu memandang Wangsit lalu menurunkan tatap. Sejurus dia memandang lurus belukar yang dulunya halaman sebuah rumah.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang