DATANGNYA BATAL

177 21 1
                                    

Beberapa hari kemudian.

"Bagaimana mungkin aku akan datang ke rumahmu lagi." Gibran menoleh ke arah Katirah.

Katirah tak bergeming. Angin sore memainkan kerudung. Hamparan sawah nan hijau masih nyata terlihat di bawah payung langit senja.

"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Katirah.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan. Aku tak mungkin menyuruhmu mencari ganti wali atur penampi. Cukup sudah, kejadian kemarin sama-sama mencoreng keluarga kita."

"Lagi pula, belum tentu Kang Inyik mau menerima kembali kehadiran keluargaku. Bila dipaksakan, aku takut hanya mendatangkan mudarat," lanjut Gibran.

Keduanya membisu kini. Di sebelah Surau bagian barat padasan, sebuah pagar bambu masih menahan tubuh keduanya. Meski tak sekencang tadi, hembusan angin masih mampu memainkan kerudung merah Katirah.

"Adakah jalan bagi masalah kita, Mas?"

"Dalam keadaan terpaksa, khitbah bisa dilangsungkan. Alangkah lebih baik bila ada wali yang menerima, dihadiri dua orang dari rumah terdekat untuk menghindari fitnah."

"Mana mungkin Kang Inyik mau menerima lamaran? Jelas dia menentang hubungan kita."

"Itu yang sedang aku pikirkan," balas Gibran.

"Bagaimana bila tak menyertakan Kang Inyik dalam khitbah? Pak Sutikno bisa mewakili."

"Rah, itu bila kamu memang sudah tak memiliki kakak, tetapi Kang Inyik masih hidup."

"Namun, apa mungkin, Mas? Aku malah takut kejadian itu berulang lagi."

"Empat tahun kemarin, semua baik-baik saja. Apakah ini memang pertanda kalau kita sudah tak berjodoh. Aku takut itu terjadi, Mas."

"Jodoh, maut, serta rezeki, tak bisa kita mereka-reka. Tak mampu kita menolak maut. Bila kita berjodoh, pasti ada jalan. Anggap kita sedang diuji untuk seberapa kuat kita melaluinya."

"Aku takut, Mas. Aku takut kalau Kang Inyik benar-benar memilihkan calon suami untukku." Katirah mendongak seakan dia menahan laju air matanya yang akan turun.

"Aku mesti berbuat apa? Bukan hanya kamu yang merasakan, Rah. Bahkan orang tuaku pun mengatakan hal yang sama. Mereka malu atas kejadian itu."

"Maksudmu, Mas?"

"Sama. Mereka juga memintaku untuk menjauhimu."

"Kang Inyik bak tembok kokoh yang tak mungkin aku dan keluargaku mengambilmu di seberang ruang."

"Kamu pasrah, Mas? Iya? Kamu tak mau memperjuangkan aku."

"Aku bukan lelaki tangguh, Rah. Aku hanya manusia biasa. Istri bagiku bukan hanya milikku, dia juga milik keluargaku, juga sebaliknya." Gibran menghembuskan napas panjang di akhir ucap.

"Membina rumah tangga Sakinah, Mawadah, allahuma Warahmah, tak semudah ucapan. Bagaimana itu terlaksana bila mata pedang akan selalu memutusnya? Ancaman apalagi yang akan aku terima dari Kang Inyik kelak?" imbuh Gibran.

"Aku tak tahu harus berkata apa, Mas. Aku harus bagaimana? Apa yang mesti aku perbuat?" Satu gerak tangan mengusap air matanya. Pecah tangis Katirah.

Gibran hanya mengernyitkan dahi, mulutnya bungkam, matanya mulai mengerjap, jelas bola mata itu berkaca-kaca.

"Aku tak tahu," ucap Gibran.

Pucuk-pucuk daun padi kembali bergerak serempak ke timur, menghadirkan gelombang bak air di lautan, sebegitu luasnya. Di sisi kanan, jalan lurus menghias, jalan yang akan membawa pendatang atau penduduk untuk menukar hasil panen dengan barang kebutuhan.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang