LADANG MAKSIAT

190 19 0
                                    

Matahari sudah muncul sejak tadi.

Beberapa rumpun bambu menjadi pemandangan siang itu. Bergerak searah saat angin menerpa. Menggugurkan helai kering yang jatuh melayang.

"Ha ha ha!"

Gelak tawa menyambut Pak Porno yang datang ke sebuah rumah kosong.

Bukannya kecil hati, tetapi Pak Porno membalasnya dengan senyum. Dia sudah sepakat untuk menerima tantangan Wangsit, bahkan Wangsit sendiri yang mengundang dua rekan untuk mencukupi syarat permainan.

"Aku sudah bilang dengan Kang Wangsit. Untuk apa diteruskan. Aku hanya kasihan melihatnya pulang selalu kalah. Ha ha ha."

"Wes, uwes ojo do ngece! Delok mengko nek dino iki awakku seng menang!" (Sudah, sudah jangan meledek! Lihat saja nanti kalau hari ini aku yang menang!), ucap Wangsit. Meski begitu dia tak marah atas ucapan Pak Porno.

"Tiga kali lipat untuk taruhan hari ini. Itu karena aku telah menyediakan sesuatu yang spesial buat kalian. Bagaimana, ha?"

Semua saling tatap, sementara Pak Porno tersenyum lebar.

"Siang ini kita akan nikmati pelan-pelan setiap permainan." Pak Porno seraya mengangkat tiga jari sebagai isyarat.

"Tiga kali lipat dari yang sudah-sudah? Bagaimana? Ha ha ha."

Wangsit menelan ludah saat masing-masing mengeluarkan tumpukan uang.

"Satu juta."

"Delapan ratus ribu."

Lalu Pak Porno menepuk saku belakang.

Buk!

Buk!

"Ha ha ha. Aku suka. Karena dengan tiga kali lipat, aku bisa menang cepat," timpa yang lain mengiyakan.

Tawa-tawa pengantar kemenangan terus terbahak-bahak.

Merasa disindir, Wangsit bangkit. "Kang, metuo sedelo, awakku onok perlu," (Kang, keluar dulu sebentar. Aku ada perlu), kata Wangsit kepada Pak Porno.

Dua pasang mata menatap apa gerangan maksud Wangsit meminta Pak Porno keluar.

Wangsit menunggu Pak Porno di sisi gubuk. Matanya nanar menatap gugur daun buluh kering yang turun melayang.

"Ada apa?" tanya Pak Porno datar, berdiri di belakang Wangsit.

Wangsit berbalik. "Aku minta kembali uangku."

"Bayarono omahku." (Bayar rumahku).

"Ha ha ha. Wangsit, Wangsit. Harga rumah itu sudah jatuh. Mana mungkin aku menerima kuitansi ini dengan membeli harga yang tertera di dalamnya. Aku menjualnya murah kepada Sampean itu tak lebih hanya ingin membantumu."

Wangsit maju selangkah. "Piro ae tukuen wes. Pokok, awan iki awakku iso main." (Berapa saja terserah. Intinya, siang ini aku bisa main).

"Wes tak tekati." (Aku sudah bertekad).

Wangsit menatap mata Pak Porno, begitu tajam.

Pak Porno tak bergeming lalu mengambil kuitansi yang dia tanda tangani kala itu.

Wangsit mengulurkan tangan. Empat jarinya bergerak mengisyaratkan meminta bayaran dari rumah yang dia jual.

"Bagaimana bila Sampean kalah?"

"Halah! Kanggoku sepele. Lungo ko kono. Wes!" (Halah! Bagiku itu sepele. Pergi dari sana. Sudah!). Wangsit membuka kedua tangan pasrah.

Pak Porno masih berdiri tak bergerak. Matanya mengamati wajah Wangsit sahabatnya, sahabat yang dia kenal sewaktu Wangsit masih sebagai wiraswasta, dan di arena judi mereka bertemu untuk pertama kali.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang