TERJADI LAGI

168 18 2
                                    

Banyak orang yang hari ini melintas di depan rumah Katirah, berboncengan dengan menaiki sepeda. Terlihat besek yang dipenuhi bermacam bunga.

"Mak, kenapa banyak orang lewat? Mereka mau ke mana?"

Jatayu yang tadi hanya memainkan kartu gambar berlari masuk karena sedikit risi dengan pemandangan tak biasa.

"Dua Minggu lagi punggahan. Mereka mau ke kubur untuk ziarah," jawab Katirah dengan terus menakar garam dalam jumput jari.

"Kita ke kuburan tidak, Mak?"

Katirah meletakkan stoples kecil berisi garam kasar. "Mereka berziarah untuk mendoakan para leluhur mereka. Bisa orang tua, atau embah, serta buyut mereka."

"Sedangkan kita? Simbahmu jauh dari sini kuburannya. Kita cukup mendoakan lewat rumah saja dan tak mesti ke kubur."

Ada nyeri di hati Katirah saat mengucapkan itu. Seharusnya dia juga akan melakukan hal sama yaitu, berziarah ke kubur untuk mendoakan mendiang Mbah Dilah.

Punggahan, ini bukan kali pertama Katirah menjalaninya. Dulu dia sering diajak Mbah Dilah ke kubur untuk sekadar membersihkan rumput mendiang bapaknya lalu malamnya dia akan ikut serta ke Surau untuk tarawih pertama.

Tradisi warisan dari apa yang dia dapat dalam lingkungan masyarakat. Katirah juga akan selalu disuruh membersihkan bulu ayam setelah disiram air panas sekaligus satu kesempatan awal baginya sahur dengan ayam ungkep berbumbu kuning.

Jatayu duduk menggantung kaki di bangku.

"Tak lama lagi kita akan melaksanakan ibadah puasa? Kamu mulai belajar puasa ya, Le?"

"Puasa?"

"Iya, puasa." Katirah lalu meneruskan menggerus bumbu di cobek batu.

"Puasa itu apa, Mak?"

"Puasa itu tidak boleh makan atau minum dari terbit hingga terbenamnya matahari."

"Tidak boleh makan?"

Katirah mengangguk.

"Lapar?"

"Ya, puasa itu belajar menahan lapar." Katirah mencoba memberi pemahaman sederhana.

"Tidak! Tayu tidak mau puasa! Pasti nanti perut Jatayu lapar, terus cacing di perutku bunyi."

"Tidak boleh bilang seperti itu? Puasa itu wajib bagi setiap Muslim."

"Jatayu masih kecil." Jatayu terus membela diri dari bayangan kelaparan.

"Meski tidak sama dengan orang tua, paling tidak kamu harus belajar puasa. Kalau dirasa tidak kuat dalam sehari penuh boleh memulai dengan setengah hari."

"Tidak mau ah, Mak! Jatayu tidak mau puasa! Lapar!" Dengan merengut dia memutar badan membelakangi Katirah. Jatayu mulai mengambek.

"Puasa itu banyak membawa kebaikan bagi kamu loh, Le? Menjadikanmu lebih sabar. Tidak mudah mengambek seperti ini."

"Tidak! Pokoknya tidak."

"Kamu coba dulu? Kalau memang tidak kuat, siang boleh makan kok?" Katirah memberi sedikit harap.

"Kenapa kita mesti puasa? Apa orang-orang juga puasa?"

"Iya, Le. Semua orang puasa, semua orang kampung juga puasa." Katirah melangkah dari bangku.

"Di akhir puasa kelak, ada hadiah baju baru bagi anak yang tidak pernah bolong dalam berpuasa satu bulan penuh."

"Baju baru?" Mata Jatayu mulai berbinar.

Katirah melirik seraya tersenyum.

"Mamak nanti yang akan memberikan hadiah untuk, Tayu. Mau tidak baju baru?"

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang