SAHABAT

574 40 3
                                    

Surau kecil dengan penerangan lampu petromaks terdengar pikuk oleh suara anak-anak.

Mereka saling berebut keluar untuk mengambil obor yang tadi dibawa sewaktu pergi, menyulut ujung sumbunya hingga halaman benderang oleh sinar obor yang menyala.

"Mau aku antar?" tanya Gibran yang mengenakan peci hitam.

Katirah yang ada di sebelahnya hanya tersipu seraya terus menerima uluran tangan anak-anak yang menyalami untuk pamit pulang.

"Bu Lek, aku pulang dulu, ya," pamit satu anak perempuan.

"Hati-hati di jalan. Tidak usah lari," jawab Katirah seraya membetulkan letak kerudungnya.

Pemandangan di dalam akan selalu terlihat kala lepas bakda isya di mana anak-anak kampung menimba ilmu dengan mengaji di Surau yang bagian belakangnya menghampar pematang sawah.

"Yakin mau pulang sendiri?" ulang Gibran.

"Bilang saja mau kenapa toh, Rah," ucap Yulia tiba-tiba muncul dari belakang mereka.

Katirah hanya tertunduk seraya tersenyum ke arah Gibran.

"Mas, aku permisi dulu," pamit Katirah kepada Gibran.

"Yulia, ayo!" ajaknya.

"Sekali-kali tidak apa-apa Rah, diantar oleh Mas Gibran."

"Kamu ini omong apa toh, Yul." Merona pipi Katirah.

"Loh? Ya, tidak apa-apa toh. Aku tidak bakal ganggu kok. Aku biasa berjalan di belakang kalian."

"Ih." Katirah mencubit kecil pinggang sahabatnya.

"Sudah, sudah. Tidak apa-apa kalau kalian tidak mau aku antar, tetapi ...." Gibran menatap Katirah.

"Besok kalau kamu tak keberatan aku tunggu sesudah asar di sini."

"Iya, Mas?" jawab Yulia.

"Aku bicara sama Katirah. Bukan sama kamu, Yul."

"La Mas Gibran, tahu sendiri. Sampai subuh juga tidak bakal Katirah menjawabnya."

"Sudah, ayo!" ajak Katirah menarik tangan Yulia. "Assalamualaikum."

Keduanya bergegas menjauh dari halaman Surau dengan bekal sebuah obor di tangan Yulia.

"Alaikum salam," jawab Gibran. "Aku tunggu di sini besok!" teriaknya kemudian.

Gibran yang memiliki wajah bersih dengan kumis tipis hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Seutas senyum tergurat dari bibirnya yang tipis.

****

Di perjalanan pulang.

Nyala obor seperti berpencar, itu terlihat dari atas. Menyisakan satu obor yang bergerak di antara lengkung pelepah kelapa yang menghitam.

"Kamu ini bagaimana toh, Rah. Kalian sudah empat tahun pacaran. Kenapa masih canggung juga, ha?" tanya Yulia yang berjalan di sisi kiri Katirah dengan memeluk Alquran.

"Terus aku harus bersikap kemayu di hadapannya?" balas Katirah.

"Ya, Allah, Rah. Bukan maksudku begitu. Paling tidak mbok ya, kamu itu menunjukkan sikap hangat sedikit kenapa toh? Masak dingin terus sama Mas Gibran."

"Ya, memang. Aku memang begini orangnya kok."

"Susah omong sama kamu, ya. Kamu itu bukan gadis kemarin sore, Rah. Kita ini sudah cukup umur. Apalagi yang kamu tunggu? Mas Gibran itu sepertinya tulus mencintaimu, Rah."

"Tahu dari mana?"

"Ah, Tirah. Aku ini juga punya pacar, tetapi tidak kaku seperti kamu. Setiap kali berjumpa dengan Mas Pandu, aku selalu menunjukkan sikap hangat."

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang