KHITBAH (LAMARAN)

214 20 10
                                    

Beberapa hari kemudian.

Pagi-pagi sekali Yulia sudah datang ke rumah Katirah bersama ibunya untuk memenuhi permintaan Katirah. Dia berniat membantu membuat jajanan yang akan dihidangkan bagi keluarga Gibran malam ini.

"Assalamualaikum."

"Alaikum salam!" Balas suara dari dalam rumah.

"Yul, eh ... mari masuk. Simbok sudah menunggu di dapur. Silakan, Mbokde."

"Terima kasih loh, Rah," jawab Bu Temi, ibunya Yulia.

"Kita jadi, 'kan ke pasar?"

"Ya, jadilah, Yul. Biar nanti Mbokde Temi sama simbok yang memutuskan untuk membeli bahan apa. Ayo, masuk!" Katirah mempersilakan Yulia masuk dan berjalan di belakangnya ketika menuju dapur.

"Mbok, bahan-bahannya sudah dicatat toh?"

"Oalah iya, Nduk. Kae enek neng nduwur gerobok. Jal jikuken," (Oalah iya, Nduk. Itu ada di atas lemari. Coba kamu ambil), jawab Mbah Dilah yang terlihat sibuk memindahkan air dari gentong ke baskom blirik.

"Langsung pulang kalau sudah belanja."

"Ojo mejeng neg pinggir dalan," (Jangan mejeng di pinggir jalan), sambung Bu Temi.

"Ya Allah, Bu 'e. Dikira kita ini penjual apaan. Ada toh mejeng di pinggir jalan," balas Yulia, lalu membantu ibunya membuka tempe yang dibungkus daun jati untuk dirajang.

"Bu 'e ini cuma berpesan."

"Nggeh, Bu 'e, seng ayu dewe?" (Ya, Bu, yang cantik sendiri?), ledek Yulia.

Katirah mendengarnya hanya tersenyum simpul.

"Aku kok ket mambengi kelingan bocah kae yo, Mik," (Aku kok dari semalam teringat bocah itu ya, Mik), kata Mbah Dilah seraya menuang air ke dalam soblok  yang biasa dia gunakan untuk mengukus.

Katirah menoleh ke arah Yulia. Sebenarnya sama, dia juga kangen akan suara Jatayu, tetapi dia lebih memilih untuk mendoakan kalau Jatayu baik-baik saja di sana bersama bapaknya.

"Sudah, Rah?" tanya Yulia membuyarkan bayangan Jatayu di mata Katirah.

"Eh, sudah. Ayo, nanti keburu siang!"

"Nggowo sangkek, Nduk," (Bawa tas, Nduk), ucap Bu Temi kepada anaknya.

"Iku neng cantolan," (Itu di cantolan), kata Mbah Dilah menunjukkan tas yang ada di dinding tepat di atas kepala Yulia.

"Bu, Yulia berangkat dulu, ya. Assalamualaikum."

"Alaikum salam. Hati-hati loh, Nduk," pesan Bu Temi kepada Katirah dan Yulia yang sudah siap ke pasar.

****

Pasar Templek. Taman Sari, Probolinggo.

Bising tawar menawar dan riuh rendah di antara bau menyengat menyambut siapa saja yang datang.

Tumpukan sampah pasar yang banyak mengundang lalat adalah pemandangan yang sudah tak asing. Menutup hidung pasti akan dilakukan Katirah dan Yulia saat melewatinya.

Pasar tradisional, Pasar Templek atau masyarakat lebih mengenalnya. Satu-satunya tempat jual beli yang terdekat. Empat kilo meter dari Probolinggo. Pasar yang ada di sisi ledeng dan tepat di perempatan jalan.

Yulia membatu Katirah memilih gula kelapa. "Buat mendut sama lambang sari, Rah?"

"Iya, Yul. Simbok malah pesan untuk membuat getuk gedang." Katirah berdiri setelah jongkok menyusul Yulia yang lebih dulu.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang