HARI-HARI BERBEDA

236 23 0
                                    

Dengan langkah kecilnya Jatayu berlari mengumpulkan lembar daun pisang. Di satu kesempatan, seutas rumput jalar menjatuhkan tubuhnya.

Bruk!

Katirah segera membuang pisau bagong lantas membantu Jatayu berdiri.

"Tidak usah lari-lari toh," ucapnya dengan nada khawatir.

"Tidak. Tidak sakit," balas Jatayu meringis.

Katirah bengong sesaat lalu tersenyum. Jatayu semakin meringis seraya memegangi lutut.

"Mana yang sakit?"

Jatayu menggeleng. Raut wajahnya berubah drastis.

"Ha ha ha. Tadi ngomong tidak sakit. Sakit, 'kan? Ha ha ha. Sini!" ledek Katirah berakhir iba.

"Ra ra popo. Bocah lanang kudu betah loro," (Tidak apa-apa. Anak laki-laki harus tahan dengan sakit), hibur Katirah setelah membersihkan sisa daun kering di rambut Jatayu.

"Nyapo mbesengut. Mau metisil pencilakan. He he he." (Kenapa cemberut. Tadi banyak polah. He he he). Katirah masih geli melihat wajah Jatayu.

"Sudah, duduk di sini saja."

"Tidak! Tayu mau bantu. Boleh, 'kan, Mak?" Jatayu berdiri lalu berlari menuju bawah batang pisang kepok.

"Tidak usah lari! Nanti jatuh lagi, Tayu!" teriak Katirah.

Dengan lengan Katirah menyeka peluh yang mulai mengalir. Ada rasa malu saat Jatayu memanggilnya dengan sebutan itu. Perawan yang mendadak punya momongan, tetapi dia hanya menghibur hati Jatayu, paling tidak sampai bapaknya datang untuk membawa pulang.

"Hayo! Ojo diungrah-ungkrah neh. Wes dilempit iku, Le!" (Hayo! Jangan diacak-acak lagi. Sudah dilipat itu, Le!). Mbah Dilah berteriak dari bawah batang pisang. Katirah tersenyum melihatnya. Tumpukan daun pisang yang sudah dilipat itu kembali berantakan oleh Jatayu.

"Apa begini nanti kalau aku punya anak?" batin Katirah. Melintas wajah Gibran yang empat hari lagi akan datang ke rumahnya.

"Hari-hariku akan berbeda. Menidurkan, memandikan, menyuapi. Ah, Mas Gibran. Aku sudah tak sabar untuk semuanya menjadi halal, menjadi ladang pahala bagiku untuk mengabdi kepadamu sebagai istri."

****

Magrib berlalu setengah jam tadi.

Jatayu hanya duduk diam di samping Katirah. Mata beningnya hanya sesekali mengedip gemas, membiarkan orang yang dipanggil mamak mengajarkan lafal dengan benar huruf hijaiah.

"Sana. Main sama kawannya sana?"

Jatayu menggeleng. Tubuhnya mengerut malu saat banyak anak sebaya memperhatikan dirinya. Wajahnya dia sembunyikan di belakang tubuh Katirah.

"Ayo, sini! Main," tawar anak kecil kurus dengan peci kebesaran.

Jatayu bungkam dengan menggeleng.

Gibran yang mengajarkan lafal kepada anak laki-laki sesekali mencuri pandang ke arah Katirah. Tatapan itu tak seperti biasanya.

****

Tak selang lama, kegiatan mengaji pun berakhir. 

Tanpa diperintah, semua anak-anak mengikuti beberapa Risma menuju samping Surau untuk sekalian belajar wudu.

"Siapa dia?" tanya Gibran. Tetap memunggungi seraya sibuk menyusun turutan di rak kayu.

"Anak temannya Kang Inyik," jawab Katirah duduk simpuh membetulkan letak kerudung.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang