TAMAN SARI

200 18 4
                                    

Di Surau Taman Sari.

"Allahu akbar. Allahu akbar!"

Azan baru saja selesai berkumandang dari pengeras yang terletak di bawah kubah empat tingkat. Genteng dengan hiasan bulan sabit melengkung, serta sebuah bintang, perlambang bulan baru atau hilal. Dua benda ciptaan Sang Hyang Agung, dua benda perlambang waktu yang tak satu manusia pun mampu membalikkan untuk mengatur takdir, mengatur baik dan buruk.

Gibran baru saja mengambil takbiratulihram. Sebuah tangan menariknya, membuat dirinya sempat terhuyung.

"Ora usah sok alim!" Bentak suara terdengar keras.

"Astagfirullah, Kang!" Gibran sontak terkejut dengan wajah bingung tak mengerti maksud Inyik yang menariknya. Ya, Inyik sudah datang tanpa sepengetahuan Gibran.

"He, Gibran! Dengar! Pasang kui kupingmu!" Inyik menatap tajam Gibran yang masih belum mengerti maksud kedatangannya dengan datang tiba-tiba.

"Mulai saat ini! Menjauh dari adikku! Jangan sekali-kali aku roh koe berdekatan karo adikku! Paham!"

"Astagfirullah. Ini maksudnya apa, Kang? Kenapa datang marah-marah. Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik. Sebenarnya ada apa, Kang?"

"Budek! Kupingmu budek, ha! Tidak dengar apa yang tak omong tadi, ha!" balas Inyik dengan wajah tegang serta mata keruh merah.

"Aku akan mencarikan jodoh buat adikku! Tak sampaikan sekali lagi. Jangan sekali-kali mendekati adikku Katirah!"

Gibran menghembuskan napas panjang, mencoba menguasai diri agar tak terbawa suasana hati Inyik yang meletup murka.

"Kami sudah bertahun-tahun taaruf. Kami sudah saling mengenal, aku tak bermaksud untuk mempermainkan hatinya. Dalam waktu dekat aku akan datang melamar, wujud bahwa aku sungguh-sungguh sangat mencintai Katirah."

"Mbel gedes! Ora ngurus!" (Masa bodoh! Tidak urus!).

Inyik berkacak pinggang.

"Aku teko mrene gur pingin ngomong iku. Nganti aku roh koe jek wani nyedaki adikku. Kek!" (Aku datang ke sini hanya ingin menyampaikan itu. Sampai aku tahu kamu masih berani mendekati adikku. Kek!). Diakhiri dengan menarik satu jari di leher. Segera dia memutar badan untuk berlalu.

"Semua jodoh sudah digariskan. Bila Katirah memang dipilihkan Allah untukku, tak ada yang bisa menghalangi."

Inyik menghentikan langkah, tangannya mengepal, lalu cepat melayangkan bogem ke wajah Gibran.

Des!

Dengan memegangi wajah, Gibran terhuyung, jatuh terduduk. Matanya tajam memandang Inyik yang berdiri di hadapannya.

"Iku urung sepiro. Aku luweh nekat nek koe wani sejangkah ngidak latar omahe Tirah!" (Itu belum seberapa. Aku lebih nekat kalau kamu berani selangkah saja menginjak halaman rumah Tirah!).

"Balek! Kono balek! Omongno karo wong tuomu! Ora wedi!" (Pulang! Sana pulang! Sampaikan dengan orang tuamu! Tidak takut!).

"Iso opo koe! Opo adikku arep mbok senengne karo ceramahmu! Mangan soko sumbangan lengo bocah-bocah ngaji, ha!" (Bisa apa kamu! Apa adikku mau dibuat senang dengan ceramahmu! Makan dari sumbangan minyak anak-anak mengaji, ha!), lanjut Inyik. Wajahnya semakin tegang. Urat-urat yang timbul dari amarah semakin jelas terlihat di kedua sudut kening.

Gibran tak berani bersuara kini, bungkam seraya terus menatap mata Inyik yang sudah dirasuk setan.

Mengambil langkah cepat, Inyik meninggalkan Gibran yang terus menatapnya. Bukan tak berani atau tak mampu melawan, bisa saja Gibran menangkis pukulan itu, tetapi dia lebih mengalah.

𝗡𝗚𝗔𝗪𝗨𝗟𝗢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang