Part 5 : Bahu Lawean

153 19 1
                                    

Meskipun aku dan ibu sudah tidak berjualam, tapi Aryo dan Bimo masih sering datang kerumah kami. Apalagi Aryo sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri. Aku belajar banyak dari Aryo keikhlasannya menjalani hidup membuatku malu. Meski usiaku lebih tua darinya tapi kedewasaannya patut diacungi jempol, walaupun terkadang tingkah konyol dan celotehnya tidak dapat dinalar menggunakan akal sehat. Tapi bukan soal Aryo yang mau aku bahas disini melainkan soal paklek Roni teman masa kecil bapak.

“Mbak Maya, mbak…”
“Kamu ini lho datang-datang bukannya salam”
“Waalaikumsallam”
“Kebalik Aryo”
“Iya-iya Assallammualaikum mbak Maya, ibu”
“Waalaikumsallam”
“Ada apa kok grasa-grusi gitu? Bimo mana kok tumben ndak ikut?”
“Bimo lembur mbak”
“Lha kamu ndak lembur?”
“Enggak bu, Aryo capek”
“Namanya kerja ya capek to Yo, kalau mau gak capek tidur aja”
“Tidur juga capek mbak kalo ndak ada yang ngelonin”
“Hussttt mulutmu itu lho”
“Becanda buk, Aryo kan anak baik-baik ndak mungkin ngelakuin hal seperti itu kecuali khilaf” Kulempar baju kotor yang akan kucuci ke muka Aryo.
“Mbak Maya ini lho, main lempar aja memangnya muka Aryo baju kotor apa?”
“Otak mu itu lho yang kotor, perlu di cuci”
“Hehehe…maklum mbak jomblo ya gini”

“Mbak Maya di devisi Aryo lagi buka lowongan siapa tau mbak Maya minat”
“Mau sih Yo, tapi mbak kan ndak punya ijazah”
“Mbak Maya kan kenal baik to sama pak Roni, minta tolong saja. Masak iya pak Roni gak bisa masukin mbak Maya ke pabrik pak Roni kan mandor pabrik”
Benar juga apa yang dikatakan Aryo, apa salahnya mencoba.
“Yasudah ini sebagai hadiah buat kamu mbak kasih pisang goreng”
“Wahhhh tau aja kalo Aryo laper”

Malamnya ditemani ibu aku pergi kerumah paklek, tapi sesampainya dirumah paklek, bulek bilang paklek belum pulang katanya lembur. Bulek meminta kami untuk menunggu karena biasanya gak sampai lebih dari jam Sembilan malam. Akhirnya kami menunggu paklek sambil ngobrol ngalor ngidul sama bulek dan juga bermain sama si kembar Ara dan Ari.

“Bulek, Lita kemana? Kok dari tadi ndak keliatan?”
“Lita ada dikamarnya, Lita memang begitu anaknya sama keluarga sendiri aja gak pernah mau ngumpul-ngimpul”
“Mungkin capek bulek dengan kuliahnya jadi lebih milih istirahat”

Tak berselang lama paklek pulang, dan aku meminta tolong ke paklek untuk bisa membantuku bekerja di pabrik kayu. Rupanya paklek menyetujui keinginanku, rupanya tadi paklek dari rumah kami ingin menawarkan lowongan ini padaku tapi kami sudah lebih dulu kerumah paklek. Hanya saja kata paklek karena aku tidak memiliki ijazah aku hanya jadi buruh harian lepas yang diberi upah perhari. Ya bisa dibilang upahku lebih sedikit jika dibanding dengan buruh lain yang memiliki ijazah dengan upah bulanan. Tapi aku tak mempermasalahkan hal itu yang terpenting aku memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhanku dan ibu.

Ternyata pabrik kayu ini sangat besar di dalamnya, ada beberapa ruangan yang dipisah-pisah sesuai dengan bagiannya masing-masing. Aku ditempatkan di bagian pengeleman dan pengamplasan. Diawal aku merasa kesulitan untung saja rekan kerjaku dengan telaten mengajariku, namanya Desi.

“Gimana Maya,bisa kan?”
“Makasih ya des, udah mau ajarin aku. Maklum aku di desa kerjanya cuma diladang nanam sayuran nyabutin rumput”
“Asik ya, aku udah bosen sebenarnya kerja disini capek tapi gimana lagi namanya butuh mau gak mau ya kudu dijalani”

Hari pertama kerja berjalan lancer gak ada hal istimewa ataupun hal yang menarik perhatianku. Setelah pekerjaanku selesai aku dan buruh harian lepas menganti untuk menerima upah kami. Upahku sehari 17.500,- uang segitu dulu banyak banget lho. Tapi dijaman sekarang cuma dapet bakso semangkok plus es teh tanpa kerupuk.

Setelah dua minggu aku bekerja dipabrik kayu, semua berjalan lancer dan aku mulai terbiasa dengan suasana dan orang-orang pabrik. Aku banyak mendapat hal-hal baru dari mereka. Sampai saat makan siang tiba, aku dan yang lain berkumpul untuk menikmati makan siang kami.

“Kalian tau gak sih gosip yang lagi hot?” ucap Putri teman kerjaku yang memang sudah dijuluki ratu gosip karena ada saja gosip yang ia ceritakan kepada kami. Tapi aku tidak pernah sedikitpun tertarik dengan gosip yang Putri bicarakan, tapi tidak kali ini saat nama seseorang yang ku kenal yang menjadi topik pembicaraannya.
“Apa tuh” Sahut Desi
“Kalian tau kan pak Mandor?”
“Pak Agus?” Jawab Desi
“Bukan atuh Des, pak Agus kan udah lengser. Pak Roni” Ucap Putri dengan lirih
“Pak Roni?” Tanyaku penasaran
“Tumben teman kita satu ini tertarik dengan gosip yang akan Putri bigos ceritakan”
“Lama deh, buruan”
“Sabar atuh Des, kalian tau kan pak Roni yang tadinya buruh biasa tiba-tiba bisa jadi mandor”
“Kalo itu satu pabrik juga udah tau kali Put”
“Sabar atuh Des, putri kan belum selesai ngomong jangan dipotong. Jadi Putri kemarin dari kamar mandi gak sengaja Putri ngeliat pak Roni sama bu Anggoro sedang pangku-pangkuan”
“Ihhh yang bener kamu Put, jangan ngaco deh ntar jadinya fitnah lho”
“Sumpah disamber geledek Des, Putri gak boong Putri liat pake mata kepala Putri sendiri”
“Bu Anggoro siapa memangnya?”
“Kamu belum tau May?” Aku menggeleng

Karena jam makan siang sudah selesai jadinya pembicaraan kami terputus. Pulang kerja aku meminta Desi untuk menceritakan mengenai bu Anggoro. Rupanya beliau adalah pemilik pabrik kayu ini, Sekaring Tyas Anggoro Rini. Aku memang belum pernah bertemu dengan beliau karena memang beliau jarang sekali berkunjung ke pabrik.

Tapi dari semua cerita Desi ada satu hal yang menarik perhatianku dari seorang bu Anggoro, selain beliau memiliki keturunan bangsawan rupanya beliau adalah seorang bahu lawean.

Pabrik kayu ini mulanya adalah milik suami pertamanya yang bernama Wijaya, tapi karena baru menikah beberapa bulan pak Wijaya jatuh sakit dan akhirnya meninggal jadi wewenang pabrik sepenuhnya di pegang oleh bu Anggoro karena mereka belum memiliki anak.

Tak butuh waktu lama bu Anggoro menikah lagi dengan salah satu pengusaha di kota ini, tapi suami keduanya juga bernasib sama seperti pak Wijaya. Hingga pernikahannya yang ketiga dan suaminya meninggal karena kecelakaan kerja baru diketahui kalo bu Anggoro adalah seorang bahu lawean. Desi bercerita kalau suami ketiga bu Anggoro meninggal karena tertimpa kayu di pabrik milik bu Anggoro. Bahkan Desi menyaksikan sendiri kejadian itu.

Setelah mengetahui bahwa dirinya bahu lawean bu Anggoro tidak menikah lagi, tapi aku dan Desi tidak menyangka bahwa bu Anggoro dan paklek memiliki hubungan asmara.

Karena menyandang keturunan seorang bangsawan bu Anggoro begitu ayu dan anggun. Dengan melihatnya saja kita bisa tunduk dengan kewibawaanya. Aku semakin penasaran dengan bu Anggoro.

CANDRAMAYA STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang