Part 10 : Tumbal Pabrik

132 16 0
                                    

Aku, paman dan mas Guntur menemui bu Anggoro, aku sangat takjub melihat kemewahan rumah berbentuk joglo yang begitu klasik dengan ornamen ukiran-ukiran kayu jati. Kami disambut dengan ramah.
“Mari silahkan duduk”
“Terimakasih bu”
“Saya mbok Sari, monggo silahkan saya panggilan Nyai Anggoro”
“Baik mbok, matursuwun”

Tak berselang lama mbok Sari keluar dengan membawa nampan ditangannya lengkap dengan singkong goreng dan teh hangat.
“Monggo disekecaaken”(Silahkan dinikmati)
“Matursuwun mbok, maaf merepotkan”
“Alah mboten namung toya”(Oh tidak cuma air saja)

Aku melirik kearah mas Guntur yang masih sibuk melihat benda-benda pusaka yang menempel di dinding. Mungkin itu peninggalan almarhum pak Wijaya. Ada satu yang membuatku tertarik, sebuah lukisan yang menggambarkan dua orang gadis dengan wajah yang sangat mirip namun penampilannya sangat berbeda. Gadis yang satu sanga cantik dan anggun layaknya putri keratin sedangkan yang satu sederhana seperti pelayan.

“Kamu suka dengan lukisannya?” Aku tersadar saat seseorang menepuk pundakku
“Maaf Nyai, sa-saya”
“Tidak apa-apa” Bu Anggoro tersenyum ramah kearahku, namun dibalik senyumannya aku seperti melihat sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa.
“Maaf sebelumnya kedatangan kami mengganggu waktu penjenengan, saya Damar dan ini Guntur dan Maya” Paman Damar membuka percakapan

“Tapi saya tidak bisa membantu kalian” Ucap bu Anggoro
“Tapi nyai kami belum memberitahu maksud kedatangan kami” jelasku
“Pnggil saya ibu saja karena kalian tamuku buka abdiku”
“I-iya bu”

Paman mencoba menahanku agar tetap menjaga sikapku, ya aku sadar aku sudah berlebihan sampai aku lupa siapa yang menjadi lawan bicaraku.
“Maaf bu Anggoro atas kelancangan kami, kami hanya ingin mencari tahu mengenai tumbal pabrik” Tanya mas Guntur
“Apa kalian mengira bahwa aku adalah sumber tumbal pabrik yang kalian maksud?”
“Bukan seperti itu bu, kami hanya ingin meminta ijin kepada bu Anggoro selaku pemilik pabrik untuk menghentikan ritual tumbal pabrik”
“Saya tidak ada sangkut pautnya dengan tumbal pabrik yang kalian maksud”

Lagi-lagi senyum bu Anggoro membuatku semakin menaruh curiga terhadapnya. Ketenangannya seolah menjadi tameng untuk dirinya.
“Maaf ndoro ada tuan Samidi di depan” bu Anggoro melangkah keluar bersama mbok sari meninggalkan kami tanpa sepatah kata pun.
Kedatangan pak Samidi membuat statemenku kalau bu Anggoro terlibat semakin kuat.

“Maya, kamu harus bisa mengendalikan emosimu jangan sampai sikap kita membuat bu Anggoro tidak nyaman terhadap kita. Ini bukan masalah yang sepele ini menyangkut nama baik bu Anggoro”
“Baik paman, maafkan Maya”

Hampir satu jam bu Anggoro dan pak Samidi berbincang di luar, jika dilihat dari raut wajah mereka, mereka tidak hanya berbincang tapi lebih kearah berdebat. Setelah itu pak Samidi pergi, dan sebelum ia pergi pak Samidi menatap tajam ke arahku. Aku merasakan adanya ancaman dari tatapan mata pak Samidi.

“Apa masih ada yang ingin kalian sampaikan, jika tidak kalian boleh pergi dari rumah saya. Aku tidak bisa membantu apa-apa, kalian sendiri yang menyerahkan nyawa kalian. Lagi pula semua tumbal telah siap, percuma jika kalian tetap nekat”
“Setidaknya jika bu Anggoro benar tidak terlibat dengan ritual tumbal pabrik ini, bu Anggoro bisa memberitahu kami cara untuk menghentikan ritual itu”

“Ritual itu sudah ada sejak awal berdiri pabrik, mendiang suamiku melakukan kesalahan besar yaitu bersekutu dengan demit alas Tuo dibantu oleh seorang dukun. Dengan bayaran seribu kepala gadis perawan, dan sekarang ritual itu dilanjutkan oleh pak Samidi adik mendiang suamiku. Malam ini tepat malam selasa kliwon, dan ritual itu pun akan dilakukan malam ini. Satu hal lagi di sana juga terpendam jasad mendiang suamiku jika kalian ingin memutus ritual tumbal pabrik kalian harus menghancurkan pangkal utama masalahnya. Hanya itu yang bisa saya sampaikan selebihnya itu menjadi urusan kalian”

Setelahnya bu Anggoro pergi meninggalkan kami, kami pun pamit kepada mbok sari. Tapi dari raut wajah bu Anggoro terlihat kecemasan setelah menyampaikan itu semua kepada kami. Aku bisa merasakan kesedihan disetiap ucapannya, butuh ketegaran untuk bisa menceritakan hal itu, terlebih itu adalah aib suaminya sendiri.

Malam ini paman ditemani mas Guntur, Bima dan Aryo pergi ke pabrik. Aku tidak diijinkan ikut oleh paman karena terlalu berbahaya terlebih aku tidak memiliki ilmu apapun seperti mereka.

Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki mendekati rumahku, rupanya itu adalah anak buah pak Samadi. Tapi untungnya paman sudah berpesan untuk tidak membukakan pintu kepada siapapun sebelum paman dan yang lain pulang. Tapi kedua anak buah pak Samadi terus menggedor pintu rumahku tanpa henti. Aku tak yakin jika pintu rumahku mampu untuk menahan tenaga mereka. Aku memutuskan untuk mengajak ibu pergi dari rumah lewat pintu belakang.

(Sudut pandang Aryo)

Untuk pertama kalinya aku berhadapan langsung dengan hal ghaib. Awalnya nyaliku ciut saat melihat lawanku bukan orang sembarangan. Namun paman selalu mengingatkan kami untuk selalu berdoa dan meminta perlindungan kepada sang pencipta.

“Khee,,khee,,kheee cari mati kalian” Ucap dukun itu
“Hentikan semua ini” Jawab paman dengan tenang
“Jangan ikut campur urusan kami, pergi dari sini atau kalian akan menyesal melihat dua wanita itu mati” Aku dan Bima saling pandang
“Bagaimana ini paman, mbak Maya dan ibu dalam bahaya” ucapku yang mulai panik
“Guntur, coba kamu lihat apa Maya dan ibunya dalam bahaya”
“Baik paman, Aryo jaga ragaku”

Mas Guntur mengambil posisi meditasi dan melepaskan sukmanya dari raganya. Mas Guntur memang hebat dengan mudah ia mempelajari ilmu melepas sukma. Aku membaca doa disekeliling raga mas Guntur sedangkan Bima membantu paman melawan dukun itu dan pak Samidi.

Didalam keadaan seperti ini aku baru sadar jika selama ini aku sendiri yang lalai dan menyepelekan jika diajak latihan, rupanya teman-temanku sudah hebat-hebat.

Aku melihat raga mas Guntur bergetar, aku semakin kencang membaca doa-doaku. Rupanya anak buah pak Samidi sudah dibekali ilmu sehingga mmampu membuat mas Guntur kewalahan.

Ke khawatiranku bertambah saat demit-demit yang entah dari mana datangnya sudah mengilingi tempat ku dan mas Guntur berada. Dengan ilmu bela diriku yang tidak seberapa aku mencoba melawan demit-demit itu sembari merapalkan doa-doa yang paman ajarakan. Tapi aku tetap berusaha fokus menjaga raga mas Guntur agar tidak diserang demit-demit itu.

Serangan salah satu demit mampu membuat tubuhku terpental hingga mulutku memuntahkan darah segar. Untungnya mas Guntur segera kembali kedalam raganya dan membantuku melawan demit-demit itu.
“Makanya kalo disuruh latihan jangan banyak alasan” Ucap mas Guntur sembari membantuku berdiri
“Iya mas setelah ini Aryo bakal rajin latihan”
“Liat tuh Bima, udah jago” Aku melihat kearah Bima yang tak kalah sibuknya menghalau pukulan demi pukulan yang dilontarkan pak Samidi.

“Udah jangan ngalamun, itu pocongnya udah nungguin” ucap mas Guntur
“Piye toh ki”
Aku dan mas Guntur mengambil posisi kami masing-masing satu persatu demit itu bisa kami kalahkan tak lupa kami memanjatkan doa agar roh mereka bisa tenang dan dapat kembali di tempat yang semestinya.

CANDRAMAYA STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang