Part 44 : Desa Sendangmulyo

73 14 0
                                    

Tak lelo lelo lelo ledung
(Mari kutimang-timang engkau anakku)
Cup menenga aja pijer nangis
(Cup cup, jangan menangis terus)
Anakku sing ayu (bagus) rupane
(Anakku yang cantik/ganteng)
Yen nangis ndak ilang ayune (baguse)
( Kalau menangis nanti hilang cantik/gantengnya)
Tak gadang bisa urip mulyo
(Kudoakan supaya engkau bisa hidup mulia)
Dadiyo wanito (priyo) kang utomo
(Jadilah orang yang utama (orang sukses)
Ngluhurke asmane wong tuwa
(Meninggikan nama orang tua)
Dadiyo pandekaring bang
(Jadilan pendekar bangsa)
Wis cup menenga anakku
(Sudah, jangan menangis anakku)
Kae mbulane ndadari
(Lihat, bulannya bersinar terang)
Kaya butho nggegilani
(Seperti buta yang mengerikan)
Lagi nggoleki cah nangis
(Sedang mencari anak yang sedang menangis)
Tak lelo lelo lelo ledung
(Kutimang-timang anakku)
Enggal menenga ya cah ayu (bagus)
(Diam segera  anak cantik/ganteng)
Tak emban slendang batik kawung
(Kupakai selendang batik kawung)
Yen nangis mundak ibu bingung
(Kalau menangis, ibu tambah bingung)

“Monggo mbak Mala”
“Monggo yu, saking pundi?”(Dari mana?)
“Dari rumah mbak Sari” Mendengar nama mbak Sari aku jadi penasaran
“Ada apa yu, apa ada masalah lagi?”
“Ohhh endak mbak kang umar meminta saya untuk mengambil pakaian mbak Sari yang masih layak pakai” Aku menautkan alisku bingung (Sekedar info: Yu itu sama dengan mbak ayu, panggilan dalam bahasa jawa untuk perempuan yang usianya lebih tua dari kita)

“Awalnya saya juga merasa aneh tapi saya pikir ini cara kang Umar untuk mengikhlaskan mendiang istrinya”
“Ohhh begitu, kasian ya yu kang umar”
“Kita yang masih hidup hanya bisa mendoakan yang terbaik, ngomong-ngomong ini kapan lahirnya?”
“Insyaallah dua bulan lagi yu”
“Semoga diberi kelancaran ya mba”
“Amin terimakasih yu”

Selepas dzuhur aku dan mas Guntur mendatangi rumah nyi Dasimah, karena ada sesuatu yang ingin mas Guntur sampaikan. Rupanya kandunganku yang sudah menginjak usia tujuh bulan membuatku ngos-ngosan padahal jarak rumah kami dengan rumah nyi Dasimah hanya berjarak beberapa kilo saja.

Sesampainya dirumah nyi Dasimah, kami dipersilahkan duduk di kursi yang terbuat dari bambu, meski terbuat dari bambu kursi ini kuat untuk menahan beban tubuhku dan tubuh mas Guntur. Nyi Dasimah membuatkan kami segelas teh hangat dan singkong rebus.

“Bagaimana nduk kandunganmu”
“Alhamdullah nyi sehat, walaupun sudah terasa pegalnya”
“Wajar itu nduk”
“Oya Nang, apa ada yang ingin kamu sampaikan?” Seolah tau maksud kedatangan kami nyi Dasimah to the point menanyakan hal itu pada mas Guntur.

“Gak banyak nyi yang saya sampaikan, hanya permohonan maaf yang beliau titipkan” Setelah mendengar itu raut wajah nyi Dasimah berubah Nampak kesedihan di matanya.
“Jadi benar” Ucap nyi Dasimah lirih
“Apanya yang benar nyi” Tanyaku, namun pertanyaanku tak mendapat jawaban dari nyi Dasimah. Nyi Dasimah beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya.

“Ada apa sebenarnya mas?” Mas Guntur menggenggam tanganku, ia pun seolah tak ingin menjelaskan apapun padaku. Aku sedikit kesal, namun aku tidak memaksa mereka untuk menceritakan hal itu padaku.

Cukup lama nyi Dasimah berada di kamarnya, membuatku khawatir akan keadaannya.
“Mas, apa perlu aku menyusul nyai?”
“Tidak perlu,kita tunggu saja disini”
“Tapi mas”
“Nyai hanya butuh waktu dengan dirinya, semua akan baik-baik saja”

Tak berselang lama nyi Dasimah keluar dari kamarnya, aku dan mas Guntur terpana melihat penampilan nyi Dasimah yang berbeda dari biasanya.
“Nyi” Panggilku dengan mata yang masih menatap takjub nyi Dasimah. Nyi Dasimah tersenyum manis ke arah kami.
“Nyi ini beneran nyai?”
“Le, antar saya ke sendang”
“Ma-mau apa nyi?”

CANDRAMAYA STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang