Part 3 : Santet Tanah Kuburan

181 20 0
                                    

Enam bulan setelah aku dan ibu membuka usaha warung kami, penghasilan yang kami dapat sangat lumayan. Kami bisa menutup kebutuhan sehari-hari dan menyisakan sebagian untuk kami tabung, untuk berjaga-jaga saat ada sesuatu hal yang mendesak soal financial kami tidak terlalu pusing akan hal itu. Tapi semua berubah saat yang terdekat menjadi alasan usaha warung milik ibu bangkrut.

Setelah kepergian bapak, aku dan ibu memutuskan untuk pindah ke kota menemui teman kecil bapak yang bernama Pak Zamroni tapi aku sering memanggil beliau dengan sebutan paklek, karena usia beliau lebih muda satu tahun dari usia bapak.

Awal kedatangan kami paklek Roni meminta kami untuk tinggal bersamanya dan keluarganya. Paklek Roni memiliki tiga orang anak, anak pertamanya bernama Lita usianya sama denganku hanya bulan kelahiran kami yang berbeda. Sedangkan anak kedua dan ketiga paklek, usianya baru lima tahun mereka kembar dampit (kembar cowok-cewek) namanya Arad an Ari.

Tapi aku dan ibu menolak untuk tinggal bersama paklek karena tidak mau merepotkan keluarga paklek. Sebisa mungkin aku tidak ingin menambah beban keluarga paklek walaupun bisa dibilang paklek adalah orang berada waktu jaman itu.

Paklek pun mengerti dan menerima keputusan kami, akhirnya paklek memberikan kunci rumah lamanya kepada kami. Walaupun rumahnya terbilang sederhana tapi setidaknya aku dan ibu punya tempat untuk beristirahat dan yang paling penting kami tidak harus mengeluarkan biaya untuk menyewa rumah ini.

Hari itu juga aku dan ibu membersihkan rumah paklek yang ternyata sudah lama sekali tidak ditempati,sawang (sarang laba-laba) dan debu membuat aku dan ibu harus ekstra kerja keras untuk membersihkannya.

“Maya, kamu kalua capek istirahat duluan saja biar ibu yang ngelanjutin”
“ini sudah mau selesai kok bu”
“Kamu jangan capek-capek ya, ibu mau kedapur dulu mau ngecek barang-barang didapur yang sekiranya masih bisa kita gunakan” Aku mengangguk.

Lampu rumah ini menggunakan lampu yang berwarna kuning, sehingga pencahayaannya masih sangat kurang. Setidaknya masih ada listrik, tidak seperti rumahku di desa yang masih menggunakan lampu sentir (lampu minyak). Dapurnya pun masih menggunakan tungku, intinya rumah ini hampir sama dengan rumahku di desa.

Karena hanya ada satu kamar jadi aku dan ibu tidur dalam satu dipan, untung saja dipannya cukup besar sehingga cukup untuk kami berdua. Karena rasa kantuk mulai menyerangku dan tubuhku yang mulai merasa lelah aku memutuskan untuk tidur lebih dulu.
Udara di sini sangat berbeda dengan didesa ku, saat pintu rumah ku buka bukan lagi pemandangan hijau yang kulihat melainkan orang-orang yang berlalu lalang. Sesekali aku melemparkan senyuman kea rah mereka yang lewat di depan rumahku. Rata-rata mereka menggunakan seragam yang sama, ya mereka adalah para pekerja pabrik kayu yang berada tidak jauh dari rumahku.

“Bu” Sapa ku mencoba beramah tamah dengan tetangga
“Mbaknya ini siapa ya? Kok aku baru liat?”
“Iya bu saya dan ibu saya baru pindah kesini” ucapku sesopan mungkin
“Ohhh.. sodaranya pak Roni?”
“Siapa Maya?” Tanya ibu dari dalam rumah sembari berjalan kearahku
“Saya Bu Warsi, itu rumah saya disebelah”
“Saya Santi dan ini Maya anak saya bu”
“Yasudah bu kalua begitu, kapan-kapan mampir kerumah saya kebetulan saya punya warung nasi soto”
“Iya bu terimakasih”
“Kalau ada apa-apa jangan sungkan bu, datang kerumah saya”
“Iya bu terimakasih banyak, kami mohon ijin merepotkan ya bu”
“Ahhh ndak merepotkan bu, saya senang karena rumah ini gak lagi sepi, ya sudah bu saya pamit dulu”
“iya bu monggo”

“Heh maya, kamu kenapa melamun?”
“Enggak bu,Maya cuma lagi mikir aja gimana kalau kita buka warung saja bu kayak bu Warsi, masakan ibu kan enak”
“Ah kamu ini ada-ada saja”
“Ayolah bu, nanti Maya yang bantu itu masak Maya bisa kok”
“Udah-udah sekarang kita sarapan dulu, ibu udah masak buat kamu”
“Serius???”

“Wahhh, sayur lodeh tempe goreng. Emmm Maya jadi kangen bapak, pasti bapak selalu nambah kalau ibu masakin sayur lodeh”
“Bapak sudah bahagia nak”
“Iya bu, ngomong-ngomong ibu dapat semua ini dari mana?”
“Kita gak perlu jauh-jauh ke ladang Maya, tukang sayur setiap pagi keliling”
“Emmm gitu, enak ya bu disini apa-apa datang sendiri”

Aku dan ibu mulai memikirkan usulanku tadi pagi, karena hanya itu keahlian yang kami punya. Dan rumah kami strategis untuk dibuat usaha warung.

“Tapi Maya bagaimanapun juga kita harus meminta ijin terlebih dahulu dengan bu Warsi. Kita kan orang baru disini dan bu Warsi sudah memiliki warung lebih dulu, ibu gak mau nantinya malah membuat bu Warsi merasa tersaingi”
Benar juga apa yang ibu katakana, dimanapun kita berada kita harus menomorsatukan yang namanya unggah-ungguh.

Besoknya aku dan ibu berkunjung kerumah bu Warsi dan menyampaikan niat kami untuk membuka warung di depan rumah kami.
“Assallammualaikum”
“Waalaikumsallam, ehh bu Santi Maya mari masuk”
“Terimakasih bu”
“Ada apa kok datangnya malam-malam begini?”
“Kami gak enak buk kalau berkunjung siang hari, pasti ibu lagi sibuk di warung saya lihat warung ibu ramai sekali”
“Ya, namanya usaha warung pasti begitu bu, sebentar ya bu Santi Maya saya bikini minum”
“Ndak usah repot-repot bu”
“Ndak repot cuma air putih saja, tunggu sebentar”

Bu Warsi keluar dengan membawa sebuah nampan ditangannya.
“Loh bu kok jadi repot begini”
“Ndak apa-apa bu Santi dan Maya kan belum pernah nyobain soto buatan saya”
“Wahhh keliatannya seger sotonya”
“Iya Maya monggo dicobain jangan sungkan”
“Maya makan ya bu”
“Iya-iya silahkan”

Aku dan ibu menyantap soto buatan bu Warsi, pantas saja warung soto milik bu Warsi selalu ramai ternyata rasa sotonya seenak ini. Semoga niat aku dan ibu membuka warung disambut baik oleh bu Warsi, lagi pula warung kami berbeda menu dengan warung bu Warsi.

“Alhamdullah, seger banget bu sotonya Maya suka banget”
“Sukur kalo nak Maya suka”
“Oya bu Warsi maksud kedatangan kami berdua kesini kami ingin meminta ijin dan pendapat ibu soal rencana kami untuk membuka warung di depan rumah kami”
Mendengar permintaan ibu wajah bu Warsi terlihat agak kecut, namun beliau berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya dengan senyuman kepada kami.

“Bagaimana bu?” Tanya ku sekali lagi karena bu Warsi belum menjawab pertanyaan ibu.
“Kalian berdua yakin mau buka warung juga?”
“Iya bu, kami tidak ada pekerjaan lain hanya ini yang kami bisa”
“Saya tidak melarang siapapun untuk membuka warung sama seperti saya, tapi saya hanya mengingatkan seperti yang sudah-sudah buka warung disini tidak mudah. Sudah banyak tetangga disini yang mencoba membuka warung seperti saya tapi gak ada yang pernah nyampe satu bulan udah tutup”
“Kami akan tetap mencoba bu, jika ibu mengijinkan”
“Ya silahkan saja”

Setelah kami mendapat ijin dari bu Warsi kami pamit pulang, tapi aku merasakan ada gelagat aneh yang bu Warsi tunjukkan seperti tidak suka tapi aku mencoba menepis pikiran burukku pada bu Warsi.

Aku dan ibu mulai menyiapkan perlengkapan dan kebutuhan untuk berjualan besok pagi. Sebenarnya kalaupun bu Warsi tidak mengijinkan kami untuk berjualan aku dan ibu akan tetap membuka warung yang kami namai “Warung Sarapan Pagi Candramaya”. Ibu memilih namaku karena Candra artinya bersinar dengan harapan warung kami nantinya akan selalu ramai dan membawa keberkahan bagi aku dan ibu.

CANDRAMAYA STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang