Part 42 : Desa Sendangmulyo

89 15 0
                                    

“Mas, mas Guntur” Panggil pak Karno tergesa-gesa
“Teko ki mbok salam sik ngono lho” Protes Nyi Dasimah
“Sepurane nyi, kulo klalen saking gugup’e”(Maaf nyi, saya kelupaan saking gugpnya)
“Memangnya ada apa pak?”
“Ini mas, ada yang meninggal lagi”
“Innallilahi” Ucap kami serentak
“Mayat tanpa identitas lagi pak?”
“Bukan mas kali ini warga desa Sendangmulyo” Kami semua terperangah mendengar berita itu. Karena kali ini yang meninggal warga desa jadi aku harus ikut melayat. Aku dengan segera menutup pintu.

“Dek, kamu gak usah ikut”
“Tapi mas, ini kan warga desa kita”
“Tapi---“
“Sudah-sudah biarkan dia ikut”

Kami mengikuti pak Kades, tapi lagi-lagi mayat itu tergeletak di depan pintu masuk desa. Aku menutup wajahku tak kuasa melihat mayat itu. Benar dia warga desa Sendangmulyo aku kenal dengannya, mayat itu ternyata mbak Sari istri dari kang Umar. Mayatnya begitu mengenaskan dengan robekan perutnya. Setauku mbak Sari sedang mengandung sama sepertiku namun usia kandungan mbak Sari lebih tua dari ku. Karena bulan lalu mbak Sari mengadakan acara tujuh bulanan yang itu artinya satu atau dua bulan lagi ia akan melahirkan.

Kang umar merengkuh tubuh istrinya yang sudah tak bernyawa, ia menangis sejadi-jadinya mendapati istrinya sudah tak bernafas begitu juga dengan anak yang ada dikandungan mbak Sari yang seperti secara paksa dikeluarkan dalam perut mbak Sari, terlihat dari robekan panjang yanga ada diperut mbak Sari. Tapi tak ada setetespun darah yang menetes ataupun mengotori tubuh mbak Sari. Walau begitu tetap saja aku merasakan mual yang tak tertahankan.

“Maya, kamu gak apa-apa?”
“Aku mual mas”
“Kita pulang ya” Aku mengangguk pasrah, mas Guntur dan nyi Dasimah menuntunku pulang kerumah. Sesampainya dirumah anehnya rasa mualku hilang begitu saja.

“Mas apa yang sebenarnya terjadi?” Tanyaku pada mas Guntur
“Mas juga tidak tau dek”
“Apa mas tidak punya petunjuk apapun mengenai masalah ini?” Tanyaku lagi yang hanya dijawab gelengan oleh mas Guntur.
“Sudah ndok, lebih baik kamu fokus sama kandunganmu jangan mikir yang gak-gak kamu itu ringkih” Peringat nyi Dasimah
“Ayok maring kamar tak balur wetengmu men anget” (Ayok ke kamar aku olesi perutmu biar hangat). Aku hanya menurut apa perkataan Nyi Dasimah.

“Mas, apa kamu jadi pergi?”
“Sepertinya tidak dek, aku akan bicarakan masalah ini dengan paman”
“Yasudah aku ke kamar dulu”

Mas Guntur menghubungi paman Damar lewat telpon genggam miliknya menceritakan apa yang tengah terjadi di desa Sendangmulyo. Ada ke khawatiran tersendiri yang mas Guntur rasakan , ada keterlibatan warga desa akan masalah ini namun mas Guntur tak ingin menarik kesimpulan begitu cepat sebelum ia berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang akurat sebelum memecahkan masalah ini.

Paman hanya mewanti-wanti agar mas Guntur senantiasa waspada karena masalah yang tengah mas Guntur hadapi saat itu juga menyangkut warga desa yang pastinya akan menimbulkan pro dan kontra didalamnya.

“Apa kata pamanmu” Tanya nyi Dasimah yang baru keluar dari kamar ku.
“Beliau juga tidak yakin nyi, yang jelas ini ada hubungannya dengan warga desa dan desa Sendangmulyo sendiri” Mendengar penjelasan mas Guntur, nyi Dasimah tak menunjukkan ekspresi wajah terkejut malah terkesan biasa saja.

“Ono sing durung awakmu ngerteni soko deso iki, le” (Ada yang belum kamu tau dari desa ini nak). Pandangan mas Guntur kini beralih pada nyi Dasimah yang mengoles kapur sirih keatas daun sirih kemudian mengunyahnya sampai mengeluarkan warna kuning kemerahan di dalam mulutnya.

“Pertama kali kami menginjakkan kaki di desa ini kami sangat-sangat beruntung, karena tanah di desa ini sangat subuh apapun yang ditanam di desa ini pasti tumbuh dengan subur”
“Terlebih desa ini memiliki sebuah sendang yang dapat digunakan sebagai sumber mata air”
“Sejak saat itu kami memberi nama desa ini Sendangmulyo”
“Banyak pendatang yang mulai tertarik untuk tinggal di desa ini, dan kami pun membebaskan mereka untuk membangun kehidupan mereka di desa ini”.
“Lambat laun desa ini mulai ramai penduduk, hingga akhirnya mala petaka itu terjadi. Satu persatu warga desa mati secara tiba-tiba karena kehabisan darah”
“Desa yang tadinya tentram berubah menjadi mencekam karena satu persatu teriakan dari warga yang anggota keluarganya mati secara tiba-tiba. Saat itu tak ada yang tau apa yang sebenarnya tengah terjadi di desa Sendangmulyo”

“Sampai akhirnya suamiku, berjalan kearah sendang dan menemukan saudara laki-lakinya sudah mati mengambang diatas sungai”
“Malam itu juga suamiku pergi kearah sendang hingga pagi menjelang suamiku tak juga kembali, tapi aku merasakan teriakan dan kepanikan warga tak lagi terdengar” Nyi Dasimah tak kuasa menahan air matanya saat menceritakan mendiang suaminya pada mas Guntur, aku yang tak sengaja mendengar kisahnya sudah terisak.

“Tepat matahari sudah terlihat sepenuhnya, warga mendatangi rumahku dengan membawa jasad suamiku” Aku mencoba menguatkan nyi Dasimah
“Aku sendiri tidak tahu apa yang dilakukan suamiku, yang kutau hanya ini ada kaitannya dengan sendang itu. Dan pada akhirnya warga desa setuju untuk melarang siapapun untuk mendekat kearah sendang”

“Dan saat itu desa kembali berangsur-angsur membaik hingga sekarang”
“Aku tidak menyangka jika tragedi itu akan terulang kembali”
“Apa tidak ada petunjuk sama sekali nyi?” Tanya mas Guntur meastikan
“Aku pernah sekali mendatangi tempat itu, tapi sesuatu seperti menghalangiku untuk lebih dekat lagi dengan sendang itu”

“Pasti ada sesuatu di sana Nyi”
“Aku tidak tahu”
“Mas kamu jangan nekat untuk kesana” Ucapku memperingatkan
“Tapi jika masalah ini berkaitan dengan sendang itu, aku akan mencari petunjuk disana”
“Mas, kamu ini—-“ Ucapku kesal
“Kamu jangan khawatir, aku bisa merasakan ada seseorang yang sengaja menjaga sendang itu agar warga desa tidak mendekat” Nyi Dasimah tersenyum mendengar itu, ia tau bahwa itu adalah perbuatan suaminya.

“Aku tau betul jika orang yang mengorbankan nyawanya untuk warga desa adalah suami nyi Dasimah namun seseorang dengan sengaja telah merusak pagar itu” batin mas Guntur
Semalaman aku membujuk mas Guntur untuk tidak mendekati sendang itu, aku merasa hatiku sangat tidak nyaman saat membicarakan sendang itu. Namun dasarnya mas Guntur kepala batu aku larang sampai mulutku berbusa pun pasti ia akan tetap pergi.

Akhirnya aku menyerah dari perdebatan yang kami lakukan sejak tadi, aku tau tujuan mas Guntur ingin menyelamatkan warga desa, tapi siapa yang akan menyelamatkan mas Guntur jika ia kenapa-kenapa.
“Ada Allah yang menjagaku, apa kau meragukan kebesaran sang pencipta?” Ucap mas Guntur meyakinkanku.
Tentu saja tidak Allah adalah maha mengetahui, maha segalanya. Maha pemilik bumi dan segala isi di dalamnya.

CANDRAMAYA STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang