Part 37 : Perjalanan Panjang

94 12 0
                                    

Aku tau apa yang ada di pikiran mas Guntur, ke khawatiran akan kondisi paman membuat mas Guntur terlihat begitu rapuh. Aku hanya bisa menguatkan, ku peluk erat tubuh suamiku. Tak terasa air mataku mengalir merasakan setiap detakan jantung orang yang kucintai. Mas Guntur mengecup lembut keningku sembari mengusap air mataku.

Aku hanya bisa berdoa agar orang-orang yang kucintai selalu dalam lindungan Tuhan. Awalnya mas Guntur akan pergi seorang diri namun aku khawatir akan keadaan emosionalnya jadi aku memaksa agar mengajak Bima dan Aryo jika aku tak diijinkan untuk ikut. Setelah perdebatan sedikit akhirnya hati mas Guntur meluluh dan menyetujui saranku untuk mengajak Aryo dan Bima.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan menuju sebuah desa tempat dimana paman berada.
“Bim, sakjane awakmu ngerti dalane opo ora? Aket mau dewe muter nang kene terus” (Bim sebenarnya kamu tau jalannya apa gak? Dari tadi kita muter disini terus). Gerutu Aryo
“Iki bener Yo, wingi aku yo liwat kene”(Ini benar Yo, kemarin aku juga lewat sini). Bantah Bima

“mandheg, kayane ana kang lagi ngerjai awake dhewe”( Berhenti, sepertinya ada yang sedang ngerjai kita). Ucap mas Guntur
“Siapa kamu, keluar tunjukkan wujudmu” Bima dan Aryo kebingungan melihat mas Guntur
“Keluar atau ku hancurkan rumahmu” Ancam mas Guntur sekali lagi

“Khekhekhe” Sesosok kera dengan cepat berpindah kesatu pohon ke pohon lainnya.
“Apa itu mas” Tunjuk Aryo
“Siapa kamu?”
“Tenang aku juga manusia seperti kalian” Ucap makhluk tersebut yang ternyata adalah seorang manusia. Kami terheran melihat ada manusia yang memiliki perilaku layaknya seekor kera.

“Menungso toh jebule tak pikir kethek” (Manusia ternyata kukira monyet) Ucap Aryo
“Apa kang kowe kabeh golek ing kene?”( apa yang kalian cari di sini)
“kami mung nggolek dalan pinuju omah mbah diman” (kami hanya mencari jalan menuju rumah mbah Diman). Mendengar nama mbah Diman orang itu pun turun dari atas pohon dan mendekati kami.

“Kalian kenal mbah Diman?” mas Guntur dan Bima mengangguk kecuali Aryo.
“Perkenalkan aku Amar, salah satu murid di padepokan mbah Diman” Kami pun memperkenalkan diri kami secara singkat.
“Padepokan?” Tanya Bima bingung
“Ceritanya panjang, lain kali ku ceritakan. Jadi kalian ini keponakan dari paman Damar?”
“Iya, bagaimana keadaan pamanku?”
“Tenang dulu, ada suatu hal yang harus kalian tau. Semua warga desa sudah pindah termasuk mbah Diman dan paman Damar”
“A-apa yang terjadi?”
“Sebaiknya kita pergi dulu dari sini tempat ini sudah tidak aman lagi”
“Apakah mereka semua baik-baik saja?” Tanya Bima dengan wajah penuh kekhawatiran
“Mereka siapa? Apa yang kau maksud Widi?” Seketika wajah Bima berubah salah tingkah
“Tunggu-tunggu kenapa aku sendiri yang gak tau apa-apa” Protes Aryo.
“Sudah kita harus pergi dari sini sebelum hari mulai gelap”

Kami semua mengitu langkah Amar, sepanjang perjalanan Amar menceritakan perihal yang terjadi mengenai desa mereka. Dan keberadaan Amar di sini karena paman memiliki firasat akan kedatangan kami.

Desa tempat kami berada saat ini bernama desa Tajemsari, desa ini terkenal akan pendekar-dendekarnya yang tangguh dan memiliki dua padepokan yang sangat-sangat terkenal. Padepokan tersebut adalah Padepokan Jagaraga dan Padepokan Aji Sukmo. Padepokan ini dipimpin dua bersaudara mbah Darmo dan mbah Diman. Namun sayangnya keserakahan membuat mbah Darmo ingin menguasai padepokan Aji sukmo yang dipegang oleh mbah Diman.

Penyerangan demi penyerangan dilakukan oleh padepokan Jagaraga, awalnya kami dapat menahan serangan-serangan itu, namun lama-lama kekuatan mereka semakin tak terkendali. Tak hanya murid di padepokan Aji sukmo yang menjadi korbannya melainkan juga warga desa.

Mbah Darmo sudah tak lagi menggunakan ilmu suci bela diri tetapi mbah Darmo dan murid-muridnya mengambil jalur ilmu hitam. Akhirnya padepokan kami kuwalahan untuk melawan mereka. Hingga akhirnya mbah Diman meminta bantuan kepada paman Damar untuk menolong kami, tapi hal tak terduga terjadi. Salah satu dari murid mbah Diman menjadi pengkhianat dan melukai paman saat tengah tertidur. Kami semua lengah, karena kami tidak pernah berfikir bahwa ada pengkhianat ditengah-tengah kami.

Karena hal itu, kami memutuskan untuk mengamankan warga desa sembari mencari cara untuk melawan padepokan Jagaraga. Namun karena orang-orang kami sudah banyak yang tumbang mbah Diman enggan untuk mengambil resiko untuk merebut kembali padepokan dan desa kami.

Masalah yang dihadapi paman rupanya bukan masalah sepele, setahuku paman bukan orang yang gegabah dalam menyelesaikan suatu masalah. Pasti paman sudah memiliki rencana sebelumnya, namun karena hal tak terduga terjadi membuat paman tak bisa merealisasikan rencananya.

Perjalanan yang kami lalui cukup jauh, dan sesekali Amar meminta kami untuk bersembunyi dibalik semak-semak. Mungkin orang-orang dari padepokan Jagaraga masih mengintai keberadaan warga desa.

“Bim, kamu kenapa sih senyum-senyum sendiri?”
“Hehe gak apa-apa Yok, aku cuma dengerin cerita mas Amar aja”
“Tapi cerita mas Amar gak ada lucu-lucunya Bim?”
“Aku gak nyangka Widiastuti bisa tertarik dengan pria sepertimu”. Ucapan Amar membuat Bima tersentak, antara senang dan kesal.
“Apa maksudnya berkata seperti itu, lagi pula aku kenapa? Bukankah aku tampan?iri bilang dong” Gerutu Bima dalam hati
“Aku jadi penasaran secantik apa sih Widiastuti sampai bikin Bima kesemsem” Ledek Aryo, yang dibalas toyoran oleh Bima.

“Mas apa kau merasakan sesuatu?” Tanya Amar yang diangguki oleh mas Guntur
“Hati-hati ada yang mengawasi kita” Kami mengedarkan pandangan kesekeliling, menunggu sosok yang tengah mengawasi kami keluar. Namun taka da apapaun yang terjadi walaupun energinya sangat terasa berada disekitaran kami.

“Sebaiknya kita hentikan dulu perjalanan kita”
“Tapi mas ini tengah hutan lho?”
“Emang apa salahnya dengan hutan?”
“Kami gak bawa persediaan makanan dan aku laper banget”
“Perutmu itu lho mbok dikondisikan”
“Gak baik nahan lapar bikin otak kita macet gak bisa mikir”

Mendengar kekonyolan Aryo membuat Amar dengan cepat melesat kedahan-dahan pohon.
“Wuihhhh, menungso siji kui ngalahi ketehek”(Manusia satu itu ngalahin monyet)
“Kita tunggu disini saja” Mas Guntur mengambil posisi meditasi dan memisahkan sukmanya dengan raganya. Mas Guntur mencoba mencari tau sekeliling hutan ini, tapi ada satu pun petunjuk yang ia dapatkan. Walaupun mas Guntur sangat merasakan energi itu tapi ia tak bisa menemukan keberadaan energi itu.

Mas Guntur mencoba mencari kelain arah, ia melihat kabut putih yang cukup tebal tapi ia tak mampu untuk menembusnya. Sepertinya kabut itu sengaja dibuat untuk melindungi sesuatu. Mas Guntur memutuskan untuk kembali ke raganya dan ternyata Amar sudah kembali dengan membawa buah-buahan hutan.

“Apa yang kau temukan?”
“Aku tak menemukan apapun kecuali kabut”
“Kabut itu sengaja dibuat oleh mbah Diman untuk melindungi kami semua, agar keberadaan kami tak bisa dengan mudah ditemukan”
“Syukurlah”
“Tapi masalahnya tidak hanya itu, kami semua kekurangan bahan pangan” Raut wajah Amar berubah sedih. Aku bisa merasakan seberat apa beban yang tengah ia pikul saat ini.
“Tenanglah, kami akan membantu merebut hak kalian kembali” Amar mengangguk pelan.

CANDRAMAYA STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang