Part 20 : Cinta di Atas 2050 mdpl

93 15 2
                                    

Keesokan paginya kami bersiap untuk naik, saat kami sedang membereskan perlengkapan kami lagi-lagi aku dibuat kesal karena tingkah Naya yang seolah sengaja membuatku panas.
“Udaranya seger banget ya mas, ini Naya bawain coffe anget sama roti pasti mas Guntur belum sarapan kan?”
“Ealahhh bocah iki isuk-isuk wes gawe wong panas ae”(Anak ini pagi-pagi udah bikin orang panas)
“Makasih ya Nay”
“Iya, mas Guntur sama-sama”

Jujur saja aku sebenarnya udah gak mood untuk melanjutkan pendakian ini, tapi aku mencoba bersabar, aku gak boleh menggagalkan liburan kami hanya karena keegoisanku dan rasa cemburuku.
“Sabar ya May” Untung ada Desi yang selalu mengingatkanku untuk bersabar.

Aku kadang heran sama sikap laki-laki kenapa harus menjaga perasaan wanita lain dihadapan wanita yang jelas dia tau menyukainya, atau kalian para lelaki memang sengaja.

“Gimana, udah siap?” Tanya mas Guntur, namun aku hanya diam dan memalingkan pandanganku darinya.
Sekitar pukul 08:00 wib aku dan yang lain mulai melangkahkan kaki kami menyusuri jalan menuju puncak 2050 mdpl. Dari basecamp menuju pos 1 hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit. Jalanan yang dilalui juga masih ringan, jalannya masih terbuka, landai, masih jarang pohon-pohon besar, meskipun jalannya dikelilingi perdu, semak dan rumput. Pos 1, berupa tempat kecil datar dengan penutup seng yang berada sisi kiri jalur pendakian.

Tapi kami tak berhenti di pos 1 dan langsung melanjutkan perjalanan ke pos 2. Dari pos 1 ke pos 2 kami berjalan menyusuri pinggiran jurang namun pemandangannya tetap cantik. Tak lama setelahnya kami menemukan aliran sungai kecil, yang biasanya digunakan para pendaki mengisi persediaan air minum mereka.

“Mas Guntur kenapa naik gunung ini?” Tanya Naya yang berjalan tepat di belakang mas Guntur, sedangkan aku di belakang Naya, Desi di belakangku, lalu Aryo dan yang terakhir Bima.
“Bukan aku yang ingin naik gunung ini, aku hanya menemani”
“Menemani siapa mas? Atau jangan-jangan mas Guntur sengaja dikirim buat nemenin Naya”
“Ati-ati lho mbak masnya itu udah punya pawang” Teriak Aryo yang berada paling belakang
“Siap emang pawangnya?”
“Itu yang ada di belakangmu” Jawab Aryo, setelahnya Naya memandang kearahku dengan ekspresi tidak senang.
“Aku tidak peduli” Ucap Naya Singkat

“Kalau memang benar kalian berempat yang ingin mendaki disini, apa kalian tau cerita mengenai gunung ini?” Kami memang tidak tau sama sekali gunung yang kami daki sekarang ini, ya niat kami hanya ingin melepas penat dan menikmati alam yang sangat indah ini.

“Menurut cerita rakyat setempat Gunung  ini tempat Candi Gedong So*** ini berdiri dahulu kala digunakan oleh Hanoman untuk menimbun Dasamuka dalam perang besar memperebutkan Dewi Sinta. Seperti diketahui dalam cerita pawayangan Ramayana yang tersohor itu Dasamuka telah menculik Dewi Sinta dari sisi Rama, suaminya”
“Untuk merebut Sinta kembali pecahlah perang besar antara Dasamuka dengan bala tentara raksasanya melawan Rama yang dibantu pasukan kera pimpinan Hanoman. Syahdan dalam perang tersebut Dasamuka yang sakti tak bisa mati kendati dirajam berbagai senjata oleh Rama”.
“Melihat itu Hanoman yang anak dewa itu kemudian mengangkat sebuah gunung untuk menimbun tubuh Dasamuka. Jadilah Dasamuka tertimbun hidup-hidup oleh gunung yang kemudian hari disebut sebagai gunung Ung****”.
“Dasamuka yang tertimbun hidup- hidup di dasar gunung Ungaran setiap hari mengeluarkan rintihan berupa suara menggelegak yang sebenarnya berasal dari sumber air panas yang terdapat disitu”.
“Apa kalian juga tidak tau soal larangan apa saja saat mendaki di gunung ini?” Lagi-lagi kami tidak tahu mengenai hal itu hingga satu pun diantara kami taka da yang menjawabnya.
“Para pendaki diharuskan untuk menjaga lisannya, menjaga tingkah lakunya dan terutama dilarang untuk membawa minuman keras apalagi meminumnya di gunung ini”
“Memangnya apa yang terjadi jika ada pendaki yang ketahuan membawa minuman keras?” Tanya Bima yang entah mengapa sejak kehadiran Naya dirombongan kami dia jadi diam dan jarang sekali berbicara.
“Pada masa hidupnya konon Dasamuka gemar minum minuman keras hingga siapapun yang datang ke Gunung Ungaran dengan membawa minuman keras akan membangkitkan nafsu Dasamuka. Mencium aroma miras erangan Dasamuka makin menjadi-jadi, ditandai sumber air panas makin menggelegak. Kalau sampai tubuh Dasamuka bergerak-gerak bahkan bisa menimbulkan gempa”

“Bagaimana kau tau begitu banyak mengenai gunung ini?” Tanya Desi
“Aku bukan pendaki amatir seperti kalian, bahkan aku sudah mendaki gunung ini puluhan kali” Tiba-tiba saja langkah mas Guntur terhenti
“Ada apa mas?” Tanya Naya
“E-enggak apa-apa”

Sejujurnya aku juga merasa aneh dengan ucapan terakhir dari Naya, mengapa ia sampai puluhan kali mendaki gunung ini? Apa karena sesuka itu dengan tempat ini? Atau ada hal lain yang sebenarnya Naya sembunyikan dari kami.

“Mas Guntur tunggu, mengapa perasaanku kita berputar-putar di jalan ini terus? Bukankah menuju pos 2 hanya butuh waktu kurang lebih sama dengan pos 1? Ini kita udah lebih dari satu jam mas” Protes Aryo yang membuat kami reflek berbarengan melihat arlogi yang melingkar ditangan kami. Tapi tidak dengan Naya ia masih terlihat tenang dan tidak seperti merasa lelah.
“Yasudah kita jalan sebentar lagi, harusnya setelah melewati sungai pos 2 gak jauh lagi” Akhirnya kita melanjutkan perjalanan kami kembali walaupun trek yang dilalui masih dibilang ringan tapi tetap saja untuk pemula sepertiku membutuhkan tenaga ekstra, bahkan sesekali aku menarik udara banyak-banyak untuk menguatkanku saat jalan yang dilalui sedikit menyusahkanku.

Samar-samar aku mendengar Bima dan Aryo sedari tadi berbisik seperti sedang membicarakan sesuatu. Dan aku bisa melihat ujung mata Naya yang sedari tadi seolah mengawasi kami berempat.

Tak lama kemudian sampailah kami di pos 2, hampir taka da bedanya dengan pos pertama, pos kedua juga hanya gubug kecil yang beratapkan seng hanya yang membedakan tulisan yang sengaja di tempel. Aku merebahkan tubuhku sembarangan, kakiku terasa sangat pegal dan pundakku juga rasanya mau copot karena beban didalam tas yang kami bawa.

“Minum” Mas Guntur menyodorkanku minum yang langsung direbut oleh Naya
“Minumnya buat Naya aja ya soalnya Naya gak bawa minum”
“Iya gak apa-apa kok mas” Jawabku sembari menahan emosiku yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menghancurkan tubuh Naya (Astagfirullah seram sekali).
“Lagian aku baru nemuin pendaki yang cuma bawa tas kecil kayak gitu” Ucap Aryo tak kalah kesal
“Bukan urusanmu” Jawab Naya kesal
“Sudah inget kita harus jaga ucapan dan sikap kita selama disini” Ucap Desi yang mencoba mengingatkan kami semua agar tidak terpancing emosi.

Aku masih memikirkan kejadian tadi, mengapa jarak tempuh yang kami lalui bisa selama ini. Dan aku baru sadar, sedari tadi gak ada satu pun pendaki lain yang berpapasan dengan kami dijalan padahal tadi pagi banyak sekali pendaki yang naik bersama kami. Memikirkan itu seketika tubuhku merinding.
“May, kamu kenapa?”
“Gak apa-apa Des, aku cuma capek aja kok” Desi mengeluarkan notebook miliknya dan menuliskan beberapa kata yang kemudian diberikan pada ku.
“KAMU NGERASAIN HAL ANEH KAN SEJAK NAYA IKUT DENGAN KITA” Tulis Desi yang kemudian kubalas dengan anggukan. Rupanya bukan aku saja yang merasakan keanehan itu , mungkin Aryo dan Bima juga sudah merasakannya lebih dulu disbanding kami, apalagi Bima yang paling sensitif di antara kami. Hanya saja Bima memilih diam untuk tak membuat kami khawatir, apa mas Guntur juga merasakan keanehan yang kami rasakan? Ahhh Sabodoteing, aku masih kesal dengan sikap mas Guntur. Aku mendekati Bima mencoba mencari tau.

“Bim, aku tau kamu menyembunyikan sesuatu dan sebenarnya kami juga sudah tau” ucapku lirih
“Kita hati-hati aja ya sama Naya, aku mencium bau bunga kamboja dari tubuhnya” Mendengar itu aku langsung syok. Kamboja? Setahuku bunga kamboja identik dengan orang mati.

CANDRAMAYA STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang